Vee
berjalan mengikuti pesisir pantai Sanur sembari mengenang Rai. Ya, mengenang.
Pantai ini adalah pantai berpasir putih yang sering dikunjungi Rai dan Vee
dulu.
Saat
itu Vee sedang berusia 19 tahun. Ia berkuliah di salah satu fakultas ekonomi di
Bali semester tiga. Vee memiliki mata coklat dengan hidung yang mancung. Rambut
panjang hitam lebat. Bibir merah. Layaknya puteri salju di dongeng-dongeng. Vee
gadis yang setia. 4 tahun sudah ia menjalani hubungan dengan Rai. Lelaki yang
biasa saja. Berpenampilan apa adanya, namun bersahaja dan selalu menjadi
perhatian para guru maupun dosen.
Kejadian
bermula saat Vee mencoba mengajak Rai ke pantai lain, yaitu pantai berpasir
hitam di kawasan Gianyar. Pantai Cucukan. Ombak dan suasana di pantai ini
sungguh berbeda dengan suasana di Pantai sanur yang jauh lebih indah walaupun
berada di tengah kota. Vee bermain bola dengan Rai dan Rada. Rada adalah adik
Rai yang juga hobi bermain sepak bola. Saat Vee dan Rai bermain-main, Rada dengan
semangatnya berlari ke arah Vee untuk mengambil bola, tetapi Vee menendang bola
dan bola bergelinding ke arah Pantai berombak besar itu.
“Ambil
Rai!” teriak Vee memerintah penuh paksaan, tetapi Rai tidak ingin mengambil
bola milik Rada karena ombak yang besar.
“Tega
kamu, sayang. Ombaknya terlalu besar untuk aku taklukkan”
“kalau
kamu berhasil mengambil bola itu, berarti kamu sudah membuktikan bahwa kamu
memang benar mencintaiku.” Ancam Vee.
“Sayang...
itu bahayaa..”
“Rada,
sepertinya Bli Rai tidak menyayangiku.” Kata Vee sambil tersenyum sinis.
Dengan
senyuman dan kecupan kecil di kening Vee, Rai berlari ke arah air dan
bersikeras melawan ombak untuk mengambil bola merah milik Rada. Lambat laun,
Rai hilang, tidak terlihat dan Vee mulai kebingungan.
“Rada,
dimana Bli Rai?”
“entahlah..”
sautnya cuek sambil memakan sate di pinggir pantai.
“Rada, itu bolamu bukan?”
“Ya,
mungkin Bli Rai masih membeli minuman.”
Sejam
telah berlalu, Rai belum juga kembali. Semua disadarkan dengan teriakkan
seorang nelayan yang menemukan sesosok Pria terombang-ambing di tengah laut.
“Tolong!
Ada mayat! Adaa mayaatt!”
Sontak
Vee berlari dan melihat ke arah perahu yang dibawa nelayan itu.
Diam.
Pikiran Vee seketika kosong. Badannya berat, kaku, tidak bisa bergerak. Melongo
melihat keadaan mayat yang sudah berwajah pucat tersebut. Air mata pun
menemani. Genggaman tangan Vee melepas Rada. Rada yang sudah menangis
tersedu-sedu mulai memeluk tubuh Vee. Namun Vee tidak membalas. Vee hanya
terdiam sambil meneteskan air mata. Hingga akhirnya jatuh lunglai ke pasir. Ya,
itulah Rai. Yang sudah hanyut termakan ombak. Sesal yang tersisa di benak Vee
yang sudah membuat Rai membuktikan cintanya hingga termakan maut.
Hampir
15 menit Vee tidak sadarkan diri, saat itu tentu saja Rada kebingungan bukan
main dengan kedua kakaknya yang tidak sadarkan diri. Untung saja orang-orang di
pantai itu baik hati, jadi mereka menggotong Rai dan Vee ke salah satu rumah
nelayan di sana. Rada diberikan minuman, dan beberapa orang lainnya berusaha
menghubungi polisi dan rumah sakit terdekat. Sedangkan Pak Tut, menghubungi
orang tua Rai setelah bertanya-tanya kepada Rada yang masih menangis hingga
kedua orang tua Rai datang dengan wajah pucat pasi. Vee pun sadar dan duduk di
sebelah jenazah Rai yang sudah kaki dan pucat.
“Rai.
Rai!!!” Vee mengguncang tubuh Rai, dan ibu Rai menarik Vee yang baru sadarkan
diri.
“Kenapa
Rai, Vee?”, tanya ibu Vee sedikit membentak.
Vee
hanya diam dan duduk terpaku dengan tatapan kosong. Sedangkan ibu Rai terus
memeluk Vee yang air matanya mengalir tapi tatapannya kosong. Ayah Rai sibuk
berbicara dengan Pak Tut dan beberapa Polisi. Rai masih tetap menangis memeluk
pinggang ibu Rai. Dan orang tua Vee juga datang akibat panggilan dari ayah Rai.
Jelas semua yang datang pada saat itu kaget dengan berita bahwa Rai hanyut
tertarik ombak.
Pikiran
Vee saat itu campur aduk, antara merasa kehilangan dan merasa bersalah
tentunya. Tadi, Veelah yang memaksa Rai untuk mengambil bola itu. Vee tetap
diam, hingga akhirnya Rai dibawa ke rumah duka. Orang tua Vee membawa Vee
pulang dan Vee tetap diam sambil menangis. Sebentar-sebentar suara tarikan
nafas Vee yang berat terdengar. Ayah Vee menyetir di depan, Rada duduk di depan
dan ikut dengan orang tua Vee untuk diajak pulang ke rumah Rai karena orang tua
Rai pergi ke rumah duka bersama jenazah Rai. Vee dan ibunya duduk di belakang,
berusaha mengajak Vee berbicara tetapi nihil. Vee tetap diam dan menangis,
terpukul, shock, dan takut. Orang
yang dia cintai pergi di usianya yang masih muda dan belum sempat merasakan
romantisnya pelaminan.
Empat
bulan sudah berlalu. Vee sering kali bercerita kepada Ibunya bahwa setiap Vee
menutup mata, selalu ada yang menghilangkan sela-sela jari tangannya. Bahkan
tidak jarang Vee tertawa sendiri saat menutup mata. Sela-sela jari tangan yang
hilang. Vee selalu bilang, sel-sela jari tangannya hilang. Begitu terus.
Saat aku menutup mata, ada seseorang yang datang
menghampiriku untuk menggenggam salah satu tanganku, hingga aku merasa,
sela-sela jari tanganku hilang. Genggaman yang begitu tulus, genggaman yang
begitu yakin bahwa sang penggenggam adalah orang yang sangat mencintai aku
dengan tulus. Itu adalah genggaman tangan Rai. Ternyata Rai belum mati. Rai ada
dimana pun aku membutuhkannya. Rai selalu menggenggam tanganku disaat aku
merindukannya. Rai yang selalu membuatku tersenyum dan tertawa hingga saat ini.
Rai belum mati! Rai sering datang ke sini. Dan aku melihatnya.
Ucap Vee di depan
dokter psikolog. Ibu Vee membawa Vee ke psikolog karena tidak kuat melihat anak
cantiknya selalu menangis dan tertawa-tertawa sendiri sambil menutup mata. Vee
yang masih tidak bisa menerima kepergian Rai setahun lalu selalu saja
berangan-angan bertemu dan berbicara dengan Rai. Hingga akhirnya seorang lelaki
jangkung bernama Dede menaruh perhatian kepada Vee. Dedelah psikolog yang setia merawat Vee. Dede yang tidak tega
melihat pasiennyaa yang cantik ini sakit.
“Vee, coba kamu tutup matamu dan
undang Rai datang kesini. Aku ingin melihat wajah tampan Rai” kata Dede,
psikolog muda.
“Baiklah, aku harap kamu tidak
terpesona dengan ketampanannya. Karena dia sudah mencintaiku terlebih dahulu.”
“Apa yang kamu lakukan jika yang
menggenggam tanganmu itu bukan Rai?”
“Tidak mungkin! Aku sudah
melihatnya, Railah yang mengganggam tanganku. Jika tidak, tentu aku akan
mencintai orang yang sudah menggenggam
tanganku. Siapapun itu.” Vee mulai menutup matanya. Dan apa yang terjadi?
Vee mulai tersenyum. Lalu berkata
“aku mencintaimu”. Tangan kanan Vee terangkat dan menggenggam tangan kiri nya.
“Dede, lihat, dia datang dan
menggenggam tanganku. Sekarang apa kau percaya?” kata Vee sambil tetap menutup
matanya dan tertawa kencang.
Sungguh
malang sekali kamu Vee, sahabatku. Ternyata imajinasimu tentang kehilangan
sela-sela jari tangan adalah tangan kananmu yang menggenggam erat tangan kirimu
saat kamu menutup mata. Vee, seandainya matamu terbuka untukku, kamu pasti tau
bagai mana sesungguhnya dalam cintaku untukmu.
Dede, menarik tangan Vee dan segera
menggenggam tangan kiri Vee.
“Apa
yang kamu rasakan sekarang Vee?”
“Hay!
Genggaman ini terasa hangat Dede. Bukan Rai. Siapa yang menggenggam tanganku
sekarang? Mengapa aku tidak dapat melihatnya? Genggaman tangan yang kuat. Aku
mencintai orang yang menggenggam tanganku ini. Ini seperti mimpiku saat itu!”
“Itu
karena kau menutup matamu. Sekarang, bukalah matamu, maka kamu akan melihat
dunia nyata dan benar-benar melihat sela-sela jari tangamu yang hilang. Bukan
hanya merasakan genggaman tangan, tapi juga melihat” perlahan Vee membuka
matanya dan melihat siapa yang menggenggam tangan Vee.
“Dede?
Kamu yang menggenggamnya?”
“Ya,
aku. Vee, cepat lihat mataku. Aku disini bisa membantumu melupakan kejadian
lama itu. Aku disini bisa membuatku belajar dan mengerti tentang cinta yang
baru. Aku tulus mencintaimu Vee. Lupakan kenanganmu. Percayalah, Rai sudah
tenang di sana. Dan Rai akan bahagia jika ia melihat sebuah kenyataan bahwa ada
seorang yang bisa menjagamu disini. Dan orang itu adalah aku.”
Suasana
tenang. Pantai sanur saat itu sangat indah. Salah satu gazebo di batu karang
menjadi saksi. Dan Vee memeluk manja tubuh Dede yang juga membalas pelukan
hangat Vee.
“Dede,
bantu aku melupakannya, aku bisa merasakan kehangatan yang dalam dari cintamu.”
“Dengan
senang hati, Vee. Beri aku kesempatan untuk menjagamu.”
“Jangan
tinggalakan aku.”
Vee telah mengetahui bahwa sela-sela
jari tangannya yang hilang adalah tangan kirinya yang digenggam oleh tangan Vee
yang menutup mata. Lalu saat membuka mata, ada kenyataan bahwa Dedelah yang
menggenggam tangan Vee. Cinta itu terlalu abstrak. Bisa dirasakan saat menutup
mata, tapi tidak bisa dilihat saat membuka mata. Cinta itu gamparan keras saat
dia pergi, tapi begitu indah saat jatuh tepat di cinta yang sesungguhnya.
Dede dan Vee hingga sekarang masih
tetap bersama. Walaupun terkadang Dede takut akan Vee yang selalu saja
mengenang-ngenang sosok Rai. Tetapi di sinilah peran seorang Dede dapat
dimulai. Membantu Vee untuk melupakan sosok Rai yang sudah tenang di sana
dengan kesabaran dan cinta yang Dede persembahkan untuk Vee.