Aku adalah seorang TKI asal Padang yang sekarang berada di Madagaskar untuk mmenuhi kebutuhan hidupku nanti.
Awal kejadian itu aku adalah anak kecil yang masih labil, yang kuanggap mati itu hanyalah untuk orang tua. Dan aku yang masih muda selalu menganggap bahwa mati itu hanyalah ‘gosip’ untuk anak kecil. Aku memiliki sahabat yang cantik, lebih cantik dari pada aku, matanya coklat dan rambutnya hitam lebat. Suaranya nyaring, dia senang bernyanyi, dan aku senantiasa menari.
Kerap ia menghempaskan raganya di pasir pinggir pantai dekat rumahku. Pantai yang berombak dan sejuk. Pantai yang berpasir hitam berkilau. Bahkan tidak jarang kami berenang di sana. Membantu Umi kami memanen rumput laut, dan kebiasaan kami saat kecil itu adalah bermain perahu kertas. Banyak, banyak sekali perahu kertas yang kita pakai untuk bermain di pantai.
Keunikan kami saat bermain perahu kertas adalah, setiap sore kami selalu saja sempat pergi ke pinggir pantai karena di sini kami bisa melepas penat setelah bersekolah atau beraktivitas. Tidak lupa kami selalu membawa kertas dengan pulpen. Setiap hari kami tuliskan keluh kesah kami di kertas itu, terkadang harapan, dan apa saja. Bahkan saat kami sedang bertengkarpun kami tetap datang ke pantai untuk menulis dan menghanyutkan perahu kertas itu. Kecuali saat salah satu diantara kita ada yang sakit, dengan sangat terpaksa kami tidak pergi ke pantai.
Kami adalah anak pesisir dan pantai adalah sarapan kami sehari-hari tetapi kami tidak pernah bosan dengan pantai ini, pantai yang menghadap lepas ke selatan Indah sekali, dan bersih tentunya, pasirnya berkilau seperti berlian yang bertaburan. Dan pantai adalah tempat yang sempurna untuk melepaskan semua masalah. Apalagi bersama sahabat kecilku.
Perahu kertasku memerah..
Sore, pada hari Jumat sekitar tahun 1978 aku tertidur di pinggir pantai sedangkan Ande, sahabatku yang cantik itu bernyanyi lagu khas daerah kami, Kampuang Nan Jauh di Mato. Ande memang nama lelaki, tetapi aslinya ia adalah gadis yang rupawan, aku pun menyeganinya. Merdu sekali suaranya.
Ande menarik tanganku, dan menarik aku ke dermaga yang agak jauh ke arah barat katanya ingin bermain di sekitar kapal kecil yang sedang berlabuh. Baik Ande, aku antarkan kamu.. di sanalah kami bermain perahu kertas dengan riang. Tetapi sebelumnya kami telah menulis harapan kami masing-masing. Aku belum sempat membaca apa saja isi perahu kertas Ande. Tetapi Ande sudah menaruh perahu kertas di permukaan air dekat dermaga dan lantas menceburkan diri ke sana. Aku pun ikut menaruh perahu kertas, lalu berenang bersama Ande. Tetapi perahu kertasku bukannya menjauh ke tengah laut mengikuti gelombang dan angin, malah mendekat ke arah belakang kapal kecil itu. Ande berenang cepat kearah belakang kapal dan berusaha mengambilkan perahu kertasku.
“hai elok, lihat ini aku dapatkan kapal mu..” cantik sekali Ande saat meneriakkan itu, ia tampak sumbringah. Tetapi inilah yang tidak pernah aku duga. Di umurnya yang ketujuh tahun ia pergi bersama perahu kertasku yang memerah itu. Iya memerah. Dan basah akan air mata yang asin.
Saat ia sedang tertawa-tawa di belakang kapal, kapal seketika hidup dan bergerak. Baling-baling besi belakang kapal berputar cepat dan aku takut. Aku lemas, layu, hilang kendali. Ande hancur. Kepalanya tak berbentuk. Itu yang aku lihat. Kepala Ande terkena baling-baling besi yang ukurannya 2 kali lebih besar dari pada kepalanya. Seketika suara tawanya menghilang. “Umiiiiii......”. yang kulihat saat itu adalah tangan Ande yang masih menggenggam perahu kertasku yang berisi harapan “Aku ingin bersahabat selamanya dengan Ande.” Dan perahu kertasku memerah terkena cipratan darah Ande yang menyebar di air asin itu. Teriakkanku tak kunjung usai. Berbentur dengan suara mesin kapal yang sudah berlayar itu. Dan, aku terbangun, ternyata aku sudah berada di kamarku.
Aku berlari keluar, ke rumah Ande. Ternyata apa yang aku lihat bukanlah mimpi, itu kenyataan, Umi sedang memeluk Umi Ande yang lemas sambil menangis histeris. Aku pun ikut menangis tetapi kehadiranku ditolak kakak Ande, abang Rizal. Abang Rizal mengira aku lah penyebabnya, padahal tidak. Bukan aku yang menyuruh Ande untuk pergi ke belakang kapal.aku berlari dan menceritakan semuanya kepada Abang Rizal. Walaupun dengan emosi yang meletup-letup tetapi akhirnya aku berpelukkan dengan Abang Rizal dan menangis. Lalu aku diantarkan ke dalam. Kata Umi, aku tak boleh masuk. Entah mengapa.. mungkin Umi tidak ingin aku menangis lebih keras.
Aku pergi ke kamar Ande. Kamarnya penuh dengan perahu kertas yang belum berisi harapan. Aku buka satu persatu tetapi kosong. Dan di perahu ketujuh, aku membaca sesuatu, yaitu, “..........., aku ingin menyusulmu. Abah hebat. Aku ingin bertemu denganmu. Perahu ini akan mengantarkan pesan-pesanku untuk Abah yang sedang berlayar. Tunggu aku Abah.”
Setauku Abah Ande sedang berlayar tetapi Ande bercerita bahwa Ande tidak pernah bertemu
Abahnya sejak ia lahir, bahkan Ande tidak tau bagaimana wajah Abah nya. Ande juga bercerita bahwa Abah Ande adalah nelayan yang hebat. Yang hingga saat ini masih berlayar untuk mencari nafkah. Tetapi sekarang aku tau, ternyata Abahnya sudah lama meninggal dan hilang di laut.
“Aku kehilangan sahabatku karena pantai. Mengapa kamu indah tetapi merenggutnya? Merenggut mereka yang kami sayang? Pantai oh pantai.” Semoga perahu kertas yang ku hanyutkan dari daratan Madagaskar ini bisa menyampaikan pesanku terhadap pantai dan laut.