Green
Economy: Sebuah Citra Tanpa Aksi
Oleh:
Pande Putu Tara Anggita Indyaswari
Green economy
atau ekonomi hijau kini mulai menjadi trend
di berbagai Negara. Green economy
adalah solusi dari ancaman kehancuran peradaban yang diakibatkan oleh pencemaran
dan kerusakan lingkungan. Lantas sudahkah Indonesia juga menerapkan Green Economy?
Saat ini Indonesia
memang masih gencar-gencarnya mengakui diri sebagai Negara yang menerapkan Green Economy. Bahkan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono memaparkan langkah Indonesia menuju ekonomi hijau di Riocentro Convention Center yang menjadi pusat kegiatan Konferensi
Rio+20. Hal itu dikatakan sebagai salah satu bentuk ekonomi hijau.
Citraan
Green Economy saat ini terpampang
kuat-kuat di wajah para pebisnis yang “sukses versi Indonesia”. Green Economy memang sudah diterapkan di
banyak Negara-negara maju, sehingga para pebisnis juga ikut
menggembar-gemborkan istilah Green
Economy sebagai dalih agar produknya diminati dengan konsumen tanpa
mengetahui apa saja sebenarnya kriteria-kriteria dari Green Economy.
Green Economy sebenarnya memiliki empat kriteria. Empat
kriteria itu antara lain pro-poor (mengurangi kemiskinan), pro-job (menyediakan
lapangan pekerjaan), pro-growth (meningkatkan pertumbuhan
ekonomi) dan pro-environment (tidak mengeksploitasi sumberdaya alam atau
lingkungan). Maksud tidak mengeksploitasi lingkungan adalah bahan, proses, dan
hasilnya juga tidak boleh merusak lingkungan.
Dari keempat kriteria
itu, realitanya pebisnis “sukses versi Indonesia” hanya dapat memenuhi satu
kriteria saja, yaitu Pro-growth karena semua bisnis pasti berpengaruh terhadap
perkembangan ekonomi yang biasanya dimonopoli sendiri oleh kalangan atas atau private
pro-growth. Lalu, mau dibawa kemana tiga kriteria lainnya? Apa mereka mengabaikan
ketiga kriteria lainnya?
Berbicara tentang
ekonomi, lapangan pekerjaan dan kemiskinan tentu saja akan “menyenggol” sedikit
ke UMR (Upah Minimum Kerja) yang terbilang cukup rendah. Sudah banyak juga
perusahaan-perusahaan yang “sukses versi Indonesia” mengakui tentang UMR yang
telah diberikan kepada karyawannya. UMR Indonesia berkisar sekitar Rp
700.000,00 – Rp 1.500.000,00 perbulannya, sedangkan tentu saja nominal tersebut
tidak dapat memenuhi kebutuhan buruh atau tenaga kerja selama sebulan.
Sebagian besar
perusahaan-perusahaan besar yang “sukses versi Indonesia” adalah perusahaan
yang mengeksploitasi lingkungan, seperti contoh perusahaan batu bara,
perusahaan kelapa sawit yang kerap mengalih fungsikan hutan menjadi perkebunan
kelapa sawit, perusahaan emas, fast food yang semakin menjamur, limbah-limbah
perusahaan tekstil yang tidak didaur ulang dan masih banyak lagi. Tetapi,
mengapa presiden Susilo Bambang Yudhoyono berani mengakui tentang sudah
berlakunya Green Economy di Indonesia?
Nyatanya sebagian
besar perusahaan di Indonesia selalu saja mengeksploitasi lingkungan baik dari
bahan, proses, hingga produk yang dihasilkan.
Ini sebuah ironi atau bahkan agak memalukan jika Negara lain mengetahui
apa masalah ekonomi dan lingkungan yang dialami Indonesia, tetapi Presiden
Yudhoyono dengan lancangnya mengaku di hadapan banyak Negara bahwa Green
Economy telah diterapkan. Untuk apa dengan bangganya menggembar-gemborkan Green
Economy? Sedangkan tahu tentang Green Economy saja tidak. Mereka memang telah
terbiasa berbicara sebelum berpikir. Ujung-ujungnya, Green Economy ya hanya
citraan semata.
Tajuk Rencana Terbaik Pentas Jurnalistik Medikom FE Unud 2012
wuih! tulisannya nebek ibe sekali :))
BalasHapuskok nebek ibe kak? --"
BalasHapus