Yang Punya

Foto saya
Denpasar, Bali, Indonesia
terbang naik elang, diserempet naga. selamat datang, selamat membaca :)

Rabu, 18 Mei 2011

Tulisan

Aku bahagia dan merasakan terbang karenamu. Kamulah yang membuatku melayang dan lupa bahwa aku telah diatas. Lalu, aku jatuh karena kamu melepaskan genggamanmu. Aku sakit karenamu, sakit. Tapi setidaknya karenamu pula aku tau bagaimana caraku untuk bangkit sendiri dari sakit yang telah engkau berikan. Terimakasih. Hari yang cukup lama kau isi ruangan kosongku. Mungkin memang ruangan ini begitu kosong hingga semakin lama kamu sadar bahwa kekosongan ruangan ini menjenuhkan. Mungkin aku memang bukan orang yang bisa membuatmu nyaman, senang, dan tenang di dalam ruangan kosong yang telah aku sediakan. Sebenarnya semua itu aku sediakan bukan untuk kamu tempati saja. Tetapi saat itu aku percaya bahwa kamu lah yang bisa menata kembali ruangan kosong dan hancur itu. Mengisi ruangan itu dengan apa yang kamu punya agar aku tau seberapakah kamu mempu melengkapi ruangan itu. Aku percaya kamulah orang yang bisa, mau dan mampu. Tetapi akulah egois. Aku hanya berharap aku dapat mendapatkan apa yang aku mau darimu, tapa berfikir bahwa kamu juga mengharapkan sesuatu dariku. Hingga akhirnya aku tidak dapat memenuhi apa yang kamu inginkan, aku tidak dapat memberi apa yang kamu butuhkan, aku hanya bisa menagih apa yang aku pinta kepadamu, kamu pun jenuh, dan pergi. Pergi jauh dan menghempaskan aku yang sedang asik bergelut dengan tubuhmu sambil melayang tinggi dan tinggi dan merasa semakin tinggi, hingga aku terjatuh dan sakit. Sangat sakit. Tetapi darimu juga aku belajar bahwa semua itu bukanlah bagaimana kita menerima dan meminta, tetapi juga bagaimana kita saling memberi. Akulah egois. Tetapi akan aku perbaiki diriku selagi ada waktu. Aku benahi diriku dengan dia, yang saat ini sedang bersanding denganku diatas awan, mengajakku terbang kembali, mengisi dan menghiasi ruangan kosong dan membersihkan ruangan berdebu ini. Semoga dia bukan kamu dan aku bukan aku yang dulu. Sangat susah memang melupakan kisah lama. Luka ini memang sudah sembuh dan tidak berdarah lagi. Luka ini memang sudah kering, tetapi bekasnya tetap ada. Sangat susah menghilangkan kenangan yang sudah kita rajut selama itu. Tetapi aku bersyukur saat ini aku bisa menghilangkanmu dari benakku. Aku bisa menghilangakan bayanganmu dari ruangan yang sekarang sudah diwarna oleh sentuhan lembutnya. Kamu telah menyia-nyiakan apa yang kamu punya, dan aku tidak akan seperti itu karena aku tau kamu menyesal saat melepasku dan aku terjatuh. Aku sudah bahagia dan semoga kamu merasakan kebahagiaan yang sama sepertiku. Aku salah. Ya, aku salah telah menuntut, meminta, tanpa memberikan apa yang kamu mau, apa yang kamu minta. Kamu memang sudah terlalu sabar menghadapi aku yang egois. Dan aku tidak pernah menghiraukan. Aku salah dan kamu benar. Aku tidak akan menyalahkan kamu melepaskanku. Tapi aku menyalahkanmu jika kejadian yang sama dialami “Dia” karenamu! Jaga dia yang sekarang kamu miliki. Dia lebih pantas karena dia bisa memberikan apa yang kamu mau. Karena kalian bisa berbagi apa yang kalian inginkan. Tidak seperti apa yang dulu aku lakukan kepadamu. Tetapi aku berpesan, hendaknya CINTA didasari dengan ketulusan, bukan pamrih. Aku berdoa agar perpisahan ini membuat kita sadar bahwa kita tidak pantas disatukan sebagai kekasih, tetapi aku berharap agar persahabatan kita tetap ada seperti sebelum kita pernah menjalani dan melintasi jagat cinta berdua. Aku ingin dan berharap perpisahan ini indah karena ini adalah jalan awal untuk menemukan yang sepantasnya kita teduhkan. Dan untuk kamu, yang sekarang sedang menggenggamku, aku akan berusaha untuk berbagi selalu denganmu. Tidak hanya menagih, meminta, dan menerima. Tetapi akulah tidak sempurna, jadi terimalah aku dengan kekuranganku. Karena semua ini tidak akan sempurna jika kita tidak bisa menerima ketidaksempurnaan masing-masing. Aku sayang kamu “kakak” yang bisa menjadi ayah, guru, motivator, teman, sahabat, segalanya. 151010.

Minggu, 15 Mei 2011

Perahu Kertasku Memerah

Aku adalah seorang TKI asal Padang yang sekarang berada di Madagaskar untuk mmenuhi kebutuhan hidupku nanti.

Awal kejadian itu aku adalah anak kecil yang masih labil, yang kuanggap mati itu hanyalah untuk orang tua. Dan aku yang masih muda selalu menganggap bahwa mati itu hanyalah ‘gosip’ untuk anak kecil. Aku memiliki sahabat yang cantik, lebih cantik dari pada aku, matanya coklat dan rambutnya hitam lebat. Suaranya nyaring, dia senang bernyanyi, dan aku senantiasa menari.

Kerap ia menghempaskan raganya di pasir pinggir pantai dekat rumahku. Pantai yang berombak dan sejuk. Pantai yang berpasir hitam berkilau. Bahkan tidak jarang kami berenang di sana. Membantu Umi kami memanen rumput laut, dan kebiasaan kami saat kecil itu adalah bermain perahu kertas. Banyak, banyak sekali perahu kertas yang kita pakai untuk bermain di pantai.

Keunikan kami saat bermain perahu kertas adalah, setiap sore kami selalu saja sempat pergi ke pinggir pantai karena di sini kami bisa melepas penat setelah bersekolah atau beraktivitas. Tidak lupa kami selalu membawa kertas dengan pulpen. Setiap hari kami tuliskan keluh kesah kami di kertas itu, terkadang harapan, dan apa saja. Bahkan saat kami sedang bertengkarpun kami tetap datang ke pantai untuk menulis dan menghanyutkan perahu kertas itu. Kecuali saat salah satu diantara kita ada yang sakit, dengan sangat terpaksa kami tidak pergi ke pantai.

Kami adalah anak pesisir dan pantai adalah sarapan kami sehari-hari tetapi kami tidak pernah bosan dengan pantai ini, pantai yang menghadap lepas ke selatan Indah sekali, dan bersih tentunya, pasirnya berkilau seperti berlian yang bertaburan. Dan pantai adalah tempat yang sempurna untuk melepaskan semua masalah. Apalagi bersama sahabat kecilku.

Perahu kertasku memerah..

Sore, pada hari Jumat sekitar tahun 1978 aku tertidur di pinggir pantai sedangkan Ande, sahabatku yang cantik itu bernyanyi lagu khas daerah kami, Kampuang Nan Jauh di Mato. Ande memang nama lelaki, tetapi aslinya ia adalah gadis yang rupawan, aku pun menyeganinya. Merdu sekali suaranya.

Ande menarik tanganku, dan menarik aku ke dermaga yang agak jauh ke arah barat katanya ingin bermain di sekitar kapal kecil yang sedang berlabuh. Baik Ande, aku antarkan kamu.. di sanalah kami bermain perahu kertas dengan riang. Tetapi sebelumnya kami telah menulis harapan kami masing-masing. Aku belum sempat membaca apa saja isi perahu kertas Ande. Tetapi Ande sudah menaruh perahu kertas di permukaan air dekat dermaga dan lantas menceburkan diri ke sana. Aku pun ikut menaruh perahu kertas, lalu berenang bersama Ande. Tetapi perahu kertasku bukannya menjauh ke tengah laut mengikuti gelombang dan angin, malah mendekat ke arah belakang kapal kecil itu. Ande berenang cepat kearah belakang kapal dan berusaha mengambilkan perahu kertasku.

“hai elok, lihat ini aku dapatkan kapal mu..” cantik sekali Ande saat meneriakkan itu, ia tampak sumbringah. Tetapi inilah yang tidak pernah aku duga. Di umurnya yang ketujuh tahun ia pergi bersama perahu kertasku yang memerah itu. Iya memerah. Dan basah akan air mata yang asin.

Saat ia sedang tertawa-tawa di belakang kapal, kapal seketika hidup dan bergerak. Baling-baling besi belakang kapal berputar cepat dan aku takut. Aku lemas, layu, hilang kendali. Ande hancur. Kepalanya tak berbentuk. Itu yang aku lihat. Kepala Ande terkena baling-baling besi yang ukurannya 2 kali lebih besar dari pada kepalanya. Seketika suara tawanya menghilang. “Umiiiiii......”. yang kulihat saat itu adalah tangan Ande yang masih menggenggam perahu kertasku yang berisi harapan “Aku ingin bersahabat selamanya dengan Ande.” Dan perahu kertasku memerah terkena cipratan darah Ande yang menyebar di air asin itu. Teriakkanku tak kunjung usai. Berbentur dengan suara mesin kapal yang sudah berlayar itu. Dan, aku terbangun, ternyata aku sudah berada di kamarku.

Aku berlari keluar, ke rumah Ande. Ternyata apa yang aku lihat bukanlah mimpi, itu kenyataan, Umi sedang memeluk Umi Ande yang lemas sambil menangis histeris. Aku pun ikut menangis tetapi kehadiranku ditolak kakak Ande, abang Rizal. Abang Rizal mengira aku lah penyebabnya, padahal tidak. Bukan aku yang menyuruh Ande untuk pergi ke belakang kapal.aku berlari dan menceritakan semuanya kepada Abang Rizal. Walaupun dengan emosi yang meletup-letup tetapi akhirnya aku berpelukkan dengan Abang Rizal dan menangis. Lalu aku diantarkan ke dalam. Kata Umi, aku tak boleh masuk. Entah mengapa.. mungkin Umi tidak ingin aku menangis lebih keras.

Aku pergi ke kamar Ande. Kamarnya penuh dengan perahu kertas yang belum berisi harapan. Aku buka satu persatu tetapi kosong. Dan di perahu ketujuh, aku membaca sesuatu, yaitu, “..........., aku ingin menyusulmu. Abah hebat. Aku ingin bertemu denganmu. Perahu ini akan mengantarkan pesan-pesanku untuk Abah yang sedang berlayar. Tunggu aku Abah.”

Setauku Abah Ande sedang berlayar tetapi Ande bercerita bahwa Ande tidak pernah bertemu

Abahnya sejak ia lahir, bahkan Ande tidak tau bagaimana wajah Abah nya. Ande juga bercerita bahwa Abah Ande adalah nelayan yang hebat. Yang hingga saat ini masih berlayar untuk mencari nafkah. Tetapi sekarang aku tau, ternyata Abahnya sudah lama meninggal dan hilang di laut.

“Aku kehilangan sahabatku karena pantai. Mengapa kamu indah tetapi merenggutnya? Merenggut mereka yang kami sayang? Pantai oh pantai.” Semoga perahu kertas yang ku hanyutkan dari daratan Madagaskar ini bisa menyampaikan pesanku terhadap pantai dan laut.

M3stakung Kurang Mestakung

M3stakung oh Mestakung..

Mestakung!” moto, pedoman, sekaligus nama kelompok yang akan kita gunakan saat lomba kording (koran dinding) di Dinas Kementrian Hukum dan HAM Sabtu, 14 Mei 2011. Ini sedikit cerita yang ingin aku bagi dan semoga kalian (para pembaca) bisa memetik pelajaran dari apa yang aku ceritakan ini.

Karamel dan M3stakung

Ini adalah lomba kording pertamaku di SMA. Dulu saat di SMP aku sudah mengikuti lomba kording se-Bali, hanya saja keberuntungan kurang memihak kepada kelompok kami saat SMP dulu. Tapi setidaknya perjuangan kami dihargai, karena hanya kamilah satu-satunya kelompok yang berasal dari SMP. Sedangkan lawan kami adalah SMA/SMK se-Bali. Kami hanya mendapat penghargaan sebagai “The Youngest Participant”. Dan saat itu akulah ketuanya. Adik-adikku sangat semangat saat berlomba, tetapi mungkin aku memang bukan ketua yang handal, tidak bisa menggerakkan adik-adikku dan memberikan teori yang benar. Tetapi, memang hanya itu ilmu yang bisa aku berikan saat SMP dulu kepada adik-adikku. Nama kelompok kami saat itu adalah “Karamel” yang memiliki arti tersendiri untuk setiap anggotanya. Dan kali ini, dengan M3stakunglah aku berjuang. Persiapannya serba-serbi dadakan. Hanya satu minggu, itu pun tidak sepenuhnya kami gunakan untuk persiapan. Dari yang pertama, aku diberikan pilihan antara laput, lapsus, dan profil. Menurutku sebagai pemula sebaiknya tidak langsung terjun ke laput dan lapsus karena itu adalah tanggung jawab yang berat. Jadi, profillah yang aku pilih karena kording mingguan di sekolah aku sudah terbiasa menulis profil.

H-1.

Inilah keanehan yang terjadi. Semua baru kita persiapkan, tetapi kami menjalaninya dengan senang hati. Mulai dari pembagian banyak kata perubrik, pembagian time schedule dan tugas-tugas, mencari printer dan laptop-laptop yang akan digunakan karena lomba kording yang kami ikuti adalah lomba kording on the spot. Dalam arti lain mengerjakan 98% di tempat dan tema ditentukan di tempat, narasumber juga ditempat. Yah, serupa dengan lomba kording ku di SMP dulu. Hanya saja di sini aku bisa merasakan pertandingan yang ketat dan kuat.

Madyapadma Butuh Printer

Masalah pertama adalah di printer. Printer kelompok SMAN 3 Denpasar I (S’m3rti) yang beranggotakan 8 orang yang terdiri dari Kak Eka, Kak Winda, Krisna, Dodek, indah, Bintang, Kak Dea, dan Kak Putri sudah lengkap. Sedangkan printer kelompok SMAN 3 Denpasar II (M3stakung) yang terdiri dari Kak juni sebagai layouter dan fotografer, Baskara sebagai Karikatur dan Artistik, Kak Suci sebagai penulis laput dan sastra, Astie sebagai penulis artikel, Kompiang sebagai penulis tajuk, Ditha sebagai penulis resensi dan aku sebagai penulis profil, hanya dapat satu printer.

Semesta Kurang Mendukung (Meskukung)

Aku dan Astie pergi ke rumah Dinda dengan semangat membawa motor vario. Jauh! Tidak aku duga ternyata sejauh itu rumah Dinda. Hingga akhirnya aku sampai di sana untuk meminjam printer. Aku kira printer Dinda sama seperti printer-printer biasanya yang bisa kita bawa dengan hanya menggunakan motor. Ternyata printer Dinda 4 kali lebih besar dari pada printer ukuran biasa. Besar dan lebar. Bahkan jok sepedan motorpun tidak cukup untuk kita duduki hanya karna printer itu. Aku pun menghubungi kak Suci yang berada di sekolah dan memberitahu bahwa kondisi tidak mengijinkan untuk membawa printer yang besar itu menggunakan motor, selain itu cuaca juga tidak mendukung. Hujan.

Sesampainya di sekolah, aku basah kuyup. Aku flu, memang sudah sejak beberapa hari yang lalu. Kak Adit mengingatkanku agar menjaga kondisi karena besok adalah saatnya untuk bertanding. Dingin, pusing, tetapi tetap aku paksakan ikut mempersiapkan sarana-sarana untuk lomba besok. Hingga akhirnya kita dapatkan banyak pinjaman printer. Hanya saja hanya satu yang bisa berfungsi baik.

Kawanku, lawanku.

Keesokan paginya, sudah ada satu printer yang bisa kita gunakan, sebelum lomba kita kembali mencoba printer-printer. Tetapi nihil, hanya satu printer yang bisa kita gunakan. Padahal dalam silabus maksimal 2 printer yang boleh kita gunakan untuk mempersingkat waktu saat lomba. Lantas kami berangkat ke tempat lomba dan bahan-bahan mentah kami titip di mobil kak Winda Dp. Sesampainya di sana, aku merasakan hawa persaingan yang ketat. Bahkan jujur, dengan kelompok SMAN 3 Denpasar I (S’m3rti) pun begitu. Kita bersaing. Dan waktu berlomba pun dimulai. M3stakung mendapatkan nomer urut 7 dan S’m3rti nomer urut 3.

Bapak Drs. I Ketut Karda M.Si

“Kalau kalian jeli, pasti kalian tau yang mana narasumber.” Ucap seorang panitia. Dan dengan sigap aku menghampiri seorang lelaki tua dengan baju dinas yang duduk di taman sambil memakan snak pemberian panitia. Aku kira aku salah orang karena hanya aku satu satu-satunya orang yang berani berdiri sendiri untuk wawancara. Dengan agak sedikit berani dan menghilangkan rasa malu, aku mangucapkan salam dan berusaha mengakrabkan diri dengan Bapak I Ketut Karda selaku guru Agama dan Spiritual di Unud. Setelah lama berbincang-bincang, masih saja aku sendiri yang berdiri di tengah taman sambil asyik berbicara dengan narasumber, seperti sudah berteman lama. Dan setelah aku mendapatkan banyak info, barulah satu persatu kelompok lain datang menyerbu untuk bertanya dan mewawancarai beliau. Syukurlah aku yang pertama, jadi tidak perlu berebut dengan kelompok lain.

Diri Kita, Bukan Orang Lain

Masalah lagi. Saat aku akan membuat profil, aku hanya kebagian 256 kata. Sangat sedikit. Lalu dengan berani aku mengetik lebih, untuk saja rubrikku pas dan sangat mentok dengan foto. Judul profilku, “Diri Kita, Bukan Orang Lain” Huh! Setelah selesai membuat profil dan memberikan ke “tukang layout”, sebut saja namanya Kak Juni, aku pun pergi ke membantu baskara membuat kerangka penyangga untuk kording kami. Semua masih sama seperti time schedule yang kita buat. Tetapi lama kelamaan time schedule mulai terabaikan dan berantakan.

Padma Kuning!

Artistik dalam berwarna kuning dan artistik luar kita rencanakan berbentuk bunga teratai tetapi berwarna kuning. Teratai adalah Padma. Dan nama team jusnalistik kita adalah Madyapadma. Setelah aku selesai mewarnai karikatur, karikatur artikel, karikatur laput dan karikatur tajuk, aku langsung membantu Baskara mewarnai artistik luar yang sangat besar dan membutuhkan banyak banyak banyak warna kuning. Cat air kuning sudah habis. Dengan kondisi kritis itu team kami mencampur warna oranye dan putih dengan banyak air dan akhirnya lima kelopak bunga teratai pun jadi. Lalu kami menjemur teratai itu. Kelompok lain sudah mulai menempel rubrik mereka masing-masing. Sedangkan kami, rubrik belum di cetak karena ada suatu masalah, entah apa. Baskara sudah mulai memanas. Dan menyuruh Kak Juni agar segera mencetak.

Antara Printer, Tinta, dan Waktu

Sudah mulai mencetak dan menempel. Hanya saja karena software yang kita gunakan adalah facemaker, bukan MS.word. jadi harus memotong sedikit demi sedikit ribrik yang ada. Dan saat mencetak tiba-tiba Baskara berteriak “Aduh!”. Dan entah mengapa pandanganku langsung tertuju kepada Printer dan ternyata memang benar, tinta habis. Dan warna kuning menjadi lebih muda. Kondisi kritis datang, dengan cepat kita mengisi tinta printer kita. Walaupun menghabiskan banyak waktu, setidaknya kami belum menyerah, kami tetap berusaha memberikan yang terbaik.

Terlambat Tetap Semangat

Waktu habis dan semua sudah mulai membersihkan tempat kerja mereka, sedangkan kita masih menempel bagian-bagian. Karena menempel rubrikpun kita menggunakan rumus dan logika. Jika tidak, mungkin hasilnya akan berantakan. Dengan layout kuning tua kuning muda yang serupa dengan warna kulitku yang belang ini. Poin kami sudah dipotong setengah. Dan kami pasrah. Semua kelompok sudah selesai makan, sedangkan kami baru saja mengumpul karya kami. Panitia sudah beberapa kali menegur. Hah!!!

Senyum Kecemasan

Semua peserta berkumpul di aula atas. Dan di sanalah akan diumumkan siapa-siapa saja juara lomba kording dan kelompok mana yang mendapatkan rubrik-rubrik terbaik. Sebelumnya aku melihat wajah-wajah kelompokku, terlihat pancaran kepasrahan dan kecemasan dibalik senyum mereka. Tetapi Kak Ananta, pembina sekaligus pendamping kami tetap memnacarkan ekspresi senyumnya yang tenang itu. Aku, kak Winda, Asti dan Ditha naik ke atas dan duduk. Disusul oleh kak Eka dan Kak Dea lalu teman-teman yang lain. Dan sudah mulai diumumkan.

M3stakung Kurang Mestakung

.... Nama m3stakung sudah beberapa kali di ucapkan sebagai rubrik-rubrik dan artistik terbaik hingga akhirnya aku optimis menang dan lupa dengan kesalahan kami saat mengerjakan kording. Tetapi semesta belum mendukung, kehendak Tuhan bukan lah kami yang mendapatkan juara itu. Smansa sebagai juara 3, SMAN 3 Denpasar I (S’m3rti) sebagai juara 2 dan SMAN 8 Denpasar (Astana) sebagai juara pertama. Seketika aku kaku tetapi berusaha melepas kekecewaan dengan membanggakan diri bahwa aku adalah Madyapadma dan setidaknya team Madyapadma pulang membawa piala.

Kami turun ke bawah dan berbincang-bincang sebentar dengan kak Ananta. Lalu ia mengatakan bahwa ternyata nilai terbesar diperoleh oleh kelompok M3stakung dan seharusnya M3stakunglah yang mendapatkan juara 1, hanya saja karena pemotongan nilai saat terlamabat mengumpul, jadi kita mendapatkan posisi harapan satu dengan selisih 1 poin dengan juara 3. Bukannya perasaan bahagia yang muncul tetapi aku semakin sakit hati dan kecewa dengan apa yang terjadi.

We Are One Of Madyapadma Journalistic Park

Hah. Mau apa lagi. Ini lah pengalaman. Saat ini Tuhan masih menyuruh kita untuk belajar dari pengalaman yang ia berikan. Setidaknya aku adalah Madyapadma. And i’m Proud to be Madyapadma. Sekalipun S’m3rti dan M3stakung saat itu adalah lawan, tetapi kita adalah satu. Madyapadma. (Tar)

Rabu, 11 Mei 2011

Indonesia Pencetak Pinokio Bungkuk

“Sekolah untuk meraih masa depan”. Inilah kata-kata yang selalu terbayang-bayang oleh murid-murid sekolahan. Pembahasan materi yang kurang mengasikkan, menegangkan, atau cenderung bersifat memaksa ini dapat membuat generasi muda tertekan, bahkan stres di masa mudanya. Paksaan ini dapat diartikan para siswa dipaksakan untuk segera mengerti kurikulum dalam kata lain menuntut, bukan menuntun siswa.

Setiap pagi murid-murid berjalan di halaman sekolah menuju kelas masing-masing dengan tas yang menggembung. Entah benar berisikan buku-buku pelajaran yang tebal, mahal dan bilingual (dua bahasa) yang belum tentu semua guru mengerti bahasa inggris itu, atau bisa dibilang mubazir kertas, atau mungkin tas itu berisikan batu yang setiap hari menemani mereka ‘belajar’.

Di jaman ini sangat susah membedakan antara “mendapatkan ilmu adalah hak setiap anak” dan “mendapatkan ilmu adalah kewajiban setiap anak”. Di sekolah murid-murid dipenuhi dengan perasaan beban. Sungguh ironis, semakin berkembangnya jaman, cara belajar seharusnya lebih efektif, efisien, menyenangkan dan asik. Tetapi anehnya, semakin banyak manusia yan berhasil menemukan karya-karya ilmiah, robot, atau penemuan-penemuan lainnya, malah tidak ada manusia yang dapat menemukan cara belajar yang benar-benar efisian waktu, dan efektif. Bahkan jaman sekarang anak-anak dituntut untuk belajar dengan cara yang menyusahkan dan menjadi beban oleh murid. Bayangkan saja, setiap hari sang anak harus menanggung beban mata pelajaran, menghapal rumus ini itu, membuat tugas ini itu, les ini itu, pelatihan ini itu, bimbel untuk UN, untuk masuk ke perguruan tinggi, untuk masa depan. Katanya. Padahal belum tentu semua kurikulum atau paksaan-paksaan itu bisa sesuai dengan cita-cita atau bakat sang anak.

Pemaksaan yang mungkin saja berujung sia-sia itu telah mengambil keindahan masa kecl sang anak, kehilangan waktu bermain, belajar dari pagi sampai sore, ketika sampai di rumah harus belajar lagi untuk esoknya dan kadang tidak pernah bisa menikmati tidur nyenyak. Bahkan, untuk mengembangkan hobinya di bidang lain pun susah karena tuntutan untuk belajar sains, sains, dan sains, padahal hobi bisa dibilang sebagai bakat yang terpendam. Yang terbayang hanyalah guru-guru yang siap memarahi kita apabila terlambat datang ke sekolah, ketika tidak membuat tugas, ketika tidak hafal rumus. Belum lagi tagihan-tagihan pembayarang SPP, uang buku, uang kas. Untuk sekedar sarapan atau berkumpul dengan keluarga pun harus tertunda karena paksaan yang disebut belajar ini.

Seperti anak-anak sekolah dasar di suatu kota. Dari pagi mereka sudah dituntut untuk tidak tenang, apalagi saat musim musim ujian, murid-murid di antar oleh orang tuanya menggunakan sepeda motor, sedangkan sang anak menunduk ke bawah sambil membaca buku tebal dan bilingual itu. Kebiasaan ini membahayakan siswa dan orang tua. Ini semata-mata karena ingin lulus dari derai paksaan selama 6 tahun di sekolah dasar, karena keputusan ‘angka’ dari pusat yang dapat menentukan kelulusan. Padahal, belum tentu anak-anak yang tidak lulus karena mata pelajaran sains atau teori-teori itu tidak memiliki talenta. Bisa saja ia memiliki bakat di bidang bahasa inggris, namun nilai IPA pada ujian mereka anjlok, dan mungkin seorang anak yang memiliki talenta di bidang kesenian, tetapi bidang kesenian tidak di-UN-kan, berarti pupuslah sudah harapan dan masa depan sang anak hanya karena angka penentu kelulusan tersebut.

Diliat dari fakta, dibandingkan dengan negara Jepang dan Australia, waktu libur dan waktu belajar diseimbangkan, tidak seperti Indonesia yang menuntut agar waktu belajar lebih lama dari pada waktu libur karena tuntutan-tuntutan kurikulum yang selalu bertambah dan bertambah padahal pada ujung-ujungnya hanya 5 mata pelajaran yang di-UN-kan. Tetapi kelima mata pelajaran itu belum tentu juga sesuai dengan bakat dan kemampuan generasi muda. UN memang penghambat jalannya kesuksesan generasi muda kita saat ini. Bayangkan, Jepang hanya mematok waktu belajar dari ... – hingga.... dan waktu libur dari ....... hingga ......., sedangkan untuk Australia

Memang sangat lebih baik kelulusan tidak hanya dilihat dari mata pelajaran yang di-UN-kan. Selain itu sebaiknya anak-anak tidak dituntut untuk selalu belajar sains, belajar matematika, belajar kimia, fisika, biologi, dan lain-lain yang menyangkut rumus-rumus karena masih banyak lagi bakat atau talenta yang bisa digali. Generasi-generasi yang sukses bukan hanya dari bidang akademis yang selalu diadu di kancah yang biasa atau mungkin disebut ‘olimpiade’. Kesenian, kebudayaan, atau bakat2 non akademis lain pun bisa menghasilkan uang, dan kesuksesan tanpa harus diadukan dengan kemampuan orang-orang yang lain. Jadi, belajar memang harus diimbangi dengan aspek-aspek lainnya. Belajar bukan hanya akademis yang selalu menghafal, berhitung, dan bereksperimen, tetapi belajar untuk sebuah pencapaian kesuksesan juga bisa diartikan dalam non akademis, yang santai, tergantung hobi dan menyenangkan. Oleh karena itu, tak ada gunanya memaksakan kehendak anak dengan tuntutan selalu membawa buku besar, tebal, bilingual, di dalam ransel yang selalu di gendong anak setiap harinya dan membuat anak-anak kita bagaikan pinokio bungkuk yang digerakkan oleh peraturan-peraturan dan paksaan. Semoga untuk kedepannya Indonesia bukanlah pencetak pinokio bungkuk, tetapi pencipta orang-orang bertalenta yang tegak,berduit, dan tidak bungkuk.