Yang Punya

Foto saya
Denpasar, Bali, Indonesia
terbang naik elang, diserempet naga. selamat datang, selamat membaca :)

Rabu, 11 Mei 2011

Indonesia Pencetak Pinokio Bungkuk

“Sekolah untuk meraih masa depan”. Inilah kata-kata yang selalu terbayang-bayang oleh murid-murid sekolahan. Pembahasan materi yang kurang mengasikkan, menegangkan, atau cenderung bersifat memaksa ini dapat membuat generasi muda tertekan, bahkan stres di masa mudanya. Paksaan ini dapat diartikan para siswa dipaksakan untuk segera mengerti kurikulum dalam kata lain menuntut, bukan menuntun siswa.

Setiap pagi murid-murid berjalan di halaman sekolah menuju kelas masing-masing dengan tas yang menggembung. Entah benar berisikan buku-buku pelajaran yang tebal, mahal dan bilingual (dua bahasa) yang belum tentu semua guru mengerti bahasa inggris itu, atau bisa dibilang mubazir kertas, atau mungkin tas itu berisikan batu yang setiap hari menemani mereka ‘belajar’.

Di jaman ini sangat susah membedakan antara “mendapatkan ilmu adalah hak setiap anak” dan “mendapatkan ilmu adalah kewajiban setiap anak”. Di sekolah murid-murid dipenuhi dengan perasaan beban. Sungguh ironis, semakin berkembangnya jaman, cara belajar seharusnya lebih efektif, efisien, menyenangkan dan asik. Tetapi anehnya, semakin banyak manusia yan berhasil menemukan karya-karya ilmiah, robot, atau penemuan-penemuan lainnya, malah tidak ada manusia yang dapat menemukan cara belajar yang benar-benar efisian waktu, dan efektif. Bahkan jaman sekarang anak-anak dituntut untuk belajar dengan cara yang menyusahkan dan menjadi beban oleh murid. Bayangkan saja, setiap hari sang anak harus menanggung beban mata pelajaran, menghapal rumus ini itu, membuat tugas ini itu, les ini itu, pelatihan ini itu, bimbel untuk UN, untuk masuk ke perguruan tinggi, untuk masa depan. Katanya. Padahal belum tentu semua kurikulum atau paksaan-paksaan itu bisa sesuai dengan cita-cita atau bakat sang anak.

Pemaksaan yang mungkin saja berujung sia-sia itu telah mengambil keindahan masa kecl sang anak, kehilangan waktu bermain, belajar dari pagi sampai sore, ketika sampai di rumah harus belajar lagi untuk esoknya dan kadang tidak pernah bisa menikmati tidur nyenyak. Bahkan, untuk mengembangkan hobinya di bidang lain pun susah karena tuntutan untuk belajar sains, sains, dan sains, padahal hobi bisa dibilang sebagai bakat yang terpendam. Yang terbayang hanyalah guru-guru yang siap memarahi kita apabila terlambat datang ke sekolah, ketika tidak membuat tugas, ketika tidak hafal rumus. Belum lagi tagihan-tagihan pembayarang SPP, uang buku, uang kas. Untuk sekedar sarapan atau berkumpul dengan keluarga pun harus tertunda karena paksaan yang disebut belajar ini.

Seperti anak-anak sekolah dasar di suatu kota. Dari pagi mereka sudah dituntut untuk tidak tenang, apalagi saat musim musim ujian, murid-murid di antar oleh orang tuanya menggunakan sepeda motor, sedangkan sang anak menunduk ke bawah sambil membaca buku tebal dan bilingual itu. Kebiasaan ini membahayakan siswa dan orang tua. Ini semata-mata karena ingin lulus dari derai paksaan selama 6 tahun di sekolah dasar, karena keputusan ‘angka’ dari pusat yang dapat menentukan kelulusan. Padahal, belum tentu anak-anak yang tidak lulus karena mata pelajaran sains atau teori-teori itu tidak memiliki talenta. Bisa saja ia memiliki bakat di bidang bahasa inggris, namun nilai IPA pada ujian mereka anjlok, dan mungkin seorang anak yang memiliki talenta di bidang kesenian, tetapi bidang kesenian tidak di-UN-kan, berarti pupuslah sudah harapan dan masa depan sang anak hanya karena angka penentu kelulusan tersebut.

Diliat dari fakta, dibandingkan dengan negara Jepang dan Australia, waktu libur dan waktu belajar diseimbangkan, tidak seperti Indonesia yang menuntut agar waktu belajar lebih lama dari pada waktu libur karena tuntutan-tuntutan kurikulum yang selalu bertambah dan bertambah padahal pada ujung-ujungnya hanya 5 mata pelajaran yang di-UN-kan. Tetapi kelima mata pelajaran itu belum tentu juga sesuai dengan bakat dan kemampuan generasi muda. UN memang penghambat jalannya kesuksesan generasi muda kita saat ini. Bayangkan, Jepang hanya mematok waktu belajar dari ... – hingga.... dan waktu libur dari ....... hingga ......., sedangkan untuk Australia

Memang sangat lebih baik kelulusan tidak hanya dilihat dari mata pelajaran yang di-UN-kan. Selain itu sebaiknya anak-anak tidak dituntut untuk selalu belajar sains, belajar matematika, belajar kimia, fisika, biologi, dan lain-lain yang menyangkut rumus-rumus karena masih banyak lagi bakat atau talenta yang bisa digali. Generasi-generasi yang sukses bukan hanya dari bidang akademis yang selalu diadu di kancah yang biasa atau mungkin disebut ‘olimpiade’. Kesenian, kebudayaan, atau bakat2 non akademis lain pun bisa menghasilkan uang, dan kesuksesan tanpa harus diadukan dengan kemampuan orang-orang yang lain. Jadi, belajar memang harus diimbangi dengan aspek-aspek lainnya. Belajar bukan hanya akademis yang selalu menghafal, berhitung, dan bereksperimen, tetapi belajar untuk sebuah pencapaian kesuksesan juga bisa diartikan dalam non akademis, yang santai, tergantung hobi dan menyenangkan. Oleh karena itu, tak ada gunanya memaksakan kehendak anak dengan tuntutan selalu membawa buku besar, tebal, bilingual, di dalam ransel yang selalu di gendong anak setiap harinya dan membuat anak-anak kita bagaikan pinokio bungkuk yang digerakkan oleh peraturan-peraturan dan paksaan. Semoga untuk kedepannya Indonesia bukanlah pencetak pinokio bungkuk, tetapi pencipta orang-orang bertalenta yang tegak,berduit, dan tidak bungkuk.

Bertahan di Tengah ombak Globalisasi

Dijaman globalisasi ini, sangat banyak usaha-usaha atau pengaplikasian untuk mempertahankan budaya tanpa meninggalkan atau melawan arus globalisasi.

Budaya atau kesenian di Bali, sangat erat hubungannya dengan upacara adapt/keagamaan. Biasanya, remaja jaman sekarang sedikit yang memperhatikan dan menggemari, bahkan tidak banyak yang bisa dan mengerti cara membuat gebogan.

Gebogan adalah banten atau sesaji yang biasa dihaturkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sesaji ini biasanya berisi buah-buahan.

Bukan hanya itu, remaja saat ini banyak yang kurang mengerti cara membuat beberapa sarana persembahyangan seperti penjor, lamak, kwangen, pejati, dll.

Kurangnya perhatian remaja ini disebabkan karena beberapa faktor, yaitu kurangnya inisiatif lingkungansekitar bahwa budaya bali sangat berkaitan dengan upacara adapt, maka karena itu, SMAN 3 Denpasar mengadakan beberapa lomba-lomba di saat piodalan.

Ternyata tidak sedikit siswa yang antusias dengan perlombaan ini. Hasil-hasilnya pun cukup memuaskan dan sesuai denga kriteria. Lomba tersebut adealah lomba membuat lamak, gebogan, pejati, kwangen, canang sari, bahkan penjor.

Diharapkan agar para siswa dan siswi tidak hanya antusias di saat lomba saja, tetapi juga bisa mengembangkannya di kehidupan sehari-hari.

Lomba ini adalah salah satu cara untuk menunjukkan kreatifitas siswa dan mempertahankan budaya bali di tengah ombang-ambingnya globalisasi.

Bali Bukan Jakarta

Bali dan Pulau Bali bukanlah hal baru bagi dunia pariwisata Indonesia, juga dunia. Bahkan, di manca negara Bali lebih dikenal dibandingkan Indonesia. Perbincangan tentang Bali pun bukan hal yang baru setahun-dua mendominasi pemberitaan media-media masa baik nasional maupun internasional. Bali telah ‘go-international’ sejak dulu kala. Bali secara sadar atau tidak telah menjadi ikon kepariwisataan Indonesia di mata dunia.

Semakin lama di Bali yang telah tertanamkan kepercayaan tentang bhisama atau doktrin-doktrin yang disepakati untuk mengatur kesucian tempat-tempat suci di Bali sesuai dengan PHDI tahun 1994. Sebenarnya penyelewengan dari Bhisama ini telah ada sejak lama, namun baru disadari sekarang karena telah semakin terlihat. Sebagai contoh nyata, Bali Beach Hotel di wilayah Sanur yang merupakan bangunan tinggi sedangkan di bawahnya terdapat Pura atau tempat Suci.

Di bali telah tertanamkan kepercayaan dan keyakinan-keyakinan yang telah mendarah daging. Seperti yang kita ketahui, pemerintah di Bali sedang marak-maraknya membicarakan tentang perencanaan pembuatan Fly Over atau jembatan layang yang di buat untuk mengurangi kemacetan di wilayah Simpang Siur Kuta. Tetapi doktrin atau Bhisama yang berada di Bali bahwa Fly Over itu tidak di perbolehkan karena telah melewati tempat-tempat suci di bawahnya. Sedangkan beberapa orang-orang yang melewati Fly over tersebut bisa saja sedang dalam keadaan cuntaka atau “leteh” dalam bahasa Balinya. Pembangunan jalan layang di seputaran patung Dewa Ruci Kuta dengan panjang dua kilometer, diperkirakan akan menelan biaya antara Rp 150 miliar hingga Rp 200 miliar.

Perencanaan ini telah mengundang kontroversi bagi para penduduk di Bali karena Fly Over sepanjang 2 kilometer tentu akan melewati Padmasana atau Tempat suci di bawahnya dan itu akan mengakibatkan “leteh” pada bangunan suci yang ada di bawahnya. Dan Bali adalah bukan Bali lagi yang telah melanggar aturan-aturan yang sudah ada dan dipercaya di Bali.

Jika proyek pembangunan jalan fly over di simpang Dewa Ruci batal dilaksanakan, maka Bali tak akan pernah lagi mendapat jatah proyek prstisius dari Pemerintah Pusat. Mengapa pemerintah sangat menginginkan Dana untuk pembangunan Fly Over yang padahal rakyat di Bali masih banyak yang kurang mampu. Lebih baik dana tersebut di gunakan untuk membantu rakyat miskin yang ada di Bali.

Pemerintah seharusnya lebih memikirkan dalam-dalam tentang pembuatan Fly Over. Pemerintah Bali harus mengikuti Doktrin yang ada di Bali karena inilah Bali. Dan Bali bukanlah Jakarta. Masih banyak cara untuk mengindahkan dan melestarikan Bali tanpa merusak Bhisama yang ada. (Tar)