Yang Punya

Foto saya
Denpasar, Bali, Indonesia
terbang naik elang, diserempet naga. selamat datang, selamat membaca :)

Kamis, 24 Maret 2011

Kenyataan Semu


Ya, beginilah duniaku

Dikenyataan ini duniaku semu

Aku merasakan senyumannya

Tetapi tidak melihatnya

Aku melihat peluknya

Tetapi tidak merasakannya

Aku mencium sapaannya

Tetapi tidak pernah mendengar

Ya, inilah duniaku

Dunia yang penuh harapan

Harapan semu di sebuah kenyataan

Tetapi sayang semua semu

Harapanku nyata dibalik lamunan

Disini aku hanya selir hatimu..

Pencuri Yang Tidak Berharap Kaya

Aku adalah I Kadek Suksma Widhi Andara. Kata ibuku, nama itu diberikan padaku dengan artian I adalah anak laki-laki di Bali, Kadek adalah anak kedua di Bali, Suksma artinya terimakasih, Widhi artinya Tuhan, dan Andara adalah nama ayahku. Dalam artian luas berarti, ibuku berterimakasih kepada Tuhan karena telah menganugerahi seoang anak laki-laki. Ya, itulah aku.

Aku ingin menceritakan sedikit tentang seorang penjaga sekolahku yang telah mengajariku banyak hal. Kesabaran, ketenangan, ketabahan, tidak pamrih, hingga aku dapatkan keindahan dan merasakan pengorbanan. Saat ini usiaku 23 tahun. Dan Pak Made pun telah pensiun, tapi aku tetap sering mengunjungi Pak Made dan keluarganya, karena aku juga sudah menganggap mereka keluarga.

Pak Made, penjaga sekolahku. Berbadan pendek, sederhana, ramah, dan baik hati. 22 tahun sudah dia mengabdi sebagai penjaga sekolah sekaligus penjaga kebersihan sekolahku. Dia adalah idolaku, yang dengan senang hati menjaga sekolahku tanpa pamrih. Walaupun memang mencari gaji untuk menghidupi keluarga, tapi kerap kali ia mengerjakan pekerjaan yang bukan tugasnya. Kata Pak Made, sekolah ini sudah seperti rumahnya sendiri. Nyaman jika bersih dan tidak nyaman jika kotor. Karena beliau menyukai sekolah yang nyaman, maka dengan senang hati ia membersihkan sekolahku.

Istri Pak Made bernama Ni Luh Sukaesih, namun sering ku panggil Men Asih. Men Asih bekerja sebagai buruh tani di pertanian milik saudagar dekat rumahnya. Penghasilannya memang tidak tetap, tetapi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia memiliki 2 orang anak yang membantunya. Sebenarnya anak Pak Made dan Men Asih ada 3. Tetapi, anak keduanya sudah meninggal dunia karena sakit. Anak pertamanya seumuran denganku, tetapi tidak melanjutkan sekolah sejak duduk di bangku SMP, dan anak terakhirnya sekarang bersekolah di SMA negeri karena beasiswa gaskin (keluarga miskin). Anak pertama mereka bekerja sebagai tukang cuci motor di salah satu bengkel dengan bayaran yang lumayan banyak.

Hal yang paling kuingat adalah saat aku duduk di bangku SMA, saat aku sudah akan lulus dari sekolahku. Pak Made jarang terlihat di sekolah, dan jika tidak begitu, ia datang sekitar pukul 9 pagi. Biasanya pukul 5 Pak Made sudah bersih-bersih di halaman sekolahku dan kerap memberi sapaan senyuman kepada siswa yang baru datang. Aku yang sering bercengkrama dengan Pak Made tentu merasa curiga karena tidak biasanya Pak Made mengurung diri di depanku. Bahkan sampai masalah keluarganya saja Pak Made selalu cerita kepadaku. Tetapi semenjak Pak Made jarang pergi ke sekolah, aku mulai jarang berbincang dengannya. Pikiranku saat itu sangat pendek. Hampir saja aku mengajak teman-temanku untuk berdemo karena kukira Pak Made dipecat. Untung saja aku sempat mampir ke rumahnya dan anaknya yang pertama bilang bahwa Pak Made tidak dipecat. Tetapi aku tidak mendapatkan informasi apa pun tentang penyebab Pak Made jarang datang ke sekolah. Pak Made terlihat sehat dan tetap memancarkan senyum hangatnya.

Suatu hari, saat aku terlambat pulang karena sedang membersihkan sekre KSPAN bersama adik-adik kelasku, aku melihat Pak Made kebingungan dan seperti berpikir keras. Ingin ku menyapa Pak Made seperti biasanya, namun entah mengapa sku canggung dan curiga dengan gerak-gerik Pak Made. Beliau berdiri di depan Ruang Guru dan masuk. Aku kira dia akan membersihkan ruangan itu, tapi untuk apa Pak Made melihat-lihat keadaan sekitar seperti kebingungan dan membawa linggis? Apa Pak Made kehilangan sesuatu? Dan aku mengikuti Pak Made. Kuintip gerak-gerik Pak Made yang membuka laci meja guru-guru dan Pak Made mengambil Bungkusan coklat. Seperti uang. Pak Made mencuri? Untuk apa?

Keesokan harinya OSIS dan para guru menyebar ke kelas-kelas. Entah untuk apa. Dan Pak Budayasa menjelaskan ternyata sekolah telah kehilangan uang sebesar dua puluh dua juta rupiah. Uang untuk study tour guru-guru setelah kelulusan. Dibenakku ini apa ini ulah Pak Made? Tapi untuk apa Pak Made melakukan ini semua? Ia yang mengajariku banyak hal tentang kebaikan, tapi mengapa ia yang mencuri uang sekolah? Dan ternyata memang benar, uang itu adalah yang dicuri Pak Made. Uang yang berada di Laci meja Bu Siti, panitia tour para guru. Aku sangat bingung. Apa yang harus aku lakukan? Aku mengetahui semuanya, tetapi tidak ada bukti yang pasti. Tetapi, aku yakin seorang Pak Made tidak akan melakukan kejahatan tanpa alasan yang jelas.

Aku datang ke rumahnya, dan bertanya banyak kepada anak pertama Pak Made, tapi entah mengapa Putu selalu menjawab pertanyaanku dengan dingin. Hingga akhirnya aku ceritakan bahwa Pak Made telah mengambil uang sekolah. Putu tidak percaya, dan gadis cantik itu mengusirku. Saat aku berada di luar rumah Pak Made, aku bertanya kepada tetangga, ternyata anak kedua Pak Made sedang mengalami Kecelakaan saat berjalan di tengah jalan dalam keadaan mabuk dan memerlukan bantuan donor darah. Bukan hanya itu, anak Pak Made telah merusak toko Grosir milik Ko Handi yang berada di seberang pasar dan kerugiannya cukup besar. Semua itu harus ditanggung Pak Made.

Dan kini aku mengetahui apa penyebab Pak Made mencuri. Aku mengunjunginya di rumah sakit, dan ia menceritakan semuanya kepadaku. Ia memohon agar tidak melaporkan semua ini, tetapi aku tidak bisa. Aku menghimbai Pak Made untuk menceritakan semua ini kepada kepala sekolah sebelum ditindak lanjuti ke polisi. Dan Pak Made bersedia, karena dulu Pak Made pernah menasehatiku bahwa kebaikan akan selalu benar sekalipun berkedok kejahatan.

Setelah Pak Made dan aku datang ke ruang kepala sekolah untuk menceritakan semua kejadian, Pak Made terlihat lega. Ia berjanji akan mengembalikan uang itu, tetapi pihak sekolah memberikan kemudahan karena pengabdian Pak Made. Pak Made bercerita, ia mencuri, tetapi sama sekali bukan untuk meraih sebuah kekayaan. Ini semata-mata untuk anaknya. Pak made tidak pernah berharap kaya akan harta. Dia hanya berharap kaya akan kesejahteraan di keluarga. Dan entah dari mana, para murid yang tidak mengetahui apa maksud dan tujuan Pak Made mencuri uang itu bermain hakin sendiri, saat Pak Made berada di Pos Satpam, ia dicibir dan bahkan ada yang melemparinya Batu. Murid-murid bermain hakin sendiri. Sepulang dari sekolah, aku menerima kabar bahwa anak Pak Made tidak bisa diselamatkan karena gagar otak. Tetapi, Pak Made tidak pernah memancarkan wajah sedih dan galaunya. Ia tetap tesenyum menghadapi semua masalah ini. Masalah yang datang bertubi-tubi.

Disinilah aku dapat melihat kebijaksaan dari Pak Made, orang yang sederhana, tetapi sangat mengahargai arti kehidupan. Rela mendapatkan hukuman hanya demi keluarganya. Ya, keluarga tercintanya. Pernah aku berpikir, mengapa Pak Made tidak menjadi guru BK saja? Ia menjawab, itu cita-cita saya Widhi, tetapi apa boleh buat, orang tua saya tidak mampu menyekolahkan saya hingga ke perguruan tinggi. Dan saya akan berusaha membuat anak saya berhasil menjadi apa yang ia inginkan. Saya ingin anak saya bisa menjadi orang yang sukses tanpa kata kemiskinan yang menjadi kendala. Karena miskin materi bukan awal dari kegagalan.

Sama-Sama Wanita


Pintu perpustakaan tertutup rapat-rapat, jendelanya pun tertutup oleh rak rak buku yang tinggi. “Pintu perpustakaan itu selalu tertutup karena ruangan itu ber-AC” kata Rani kepada Gladys. Saat itu Rani bagaikan seorang guide yang mengajak Gladys berkeliling di sekolahnya. Gladys adalah teman SD Rani yang baru saja berpindah ke SMA yang sama dengan Rani. “Itu disebelah utara adalah kawasan milik kakak kelas XII, kita sebagai kelas XI sih masih segan buat lewat-lewat sekitar sana.” Tunjuk Rani dari seberang lapangan upacara menuju arah utara, sedangkan Gladys hanya mengangguk heran karena di sekolah lamanya tidak mengenal kata senioritas dan junioritas.
Gladys tertarik dengan perpustakaan sekolah barunya hingga setiap ada waktu ia selalu menyempatkan diri untuk pergi ke perpustakaan itu.
“halo nak, saya tumben melihat kamu di sini.” Sapa seorang yang masih tergolong muda, berbadan tinggi semampai, berambut lurus hitam pekat yang diurai. buk Ratna, guru honorer di sekolahnya.
“saya baru kemarin pindah ke sini, Bu. Nama saya Gladys, pindahan dari kota Qn.”
“wah, jauh sekali. Saya bu Ratna, guru matematika honorer di sini. Kamu kelas apa? ”
“kelas XI IPA4, ibu mengajar di sana?”
“iya, nanti saat pelajaran ketiga ibu mengajar di kelasmu. Sampai ketemu ya, Gladys.” Senyum Bu Ratna kepada Gladys sangat manis, bahkan Gladys pun melihatnya dengan tatapan terpana. “guru yang ramah”
Entah mengapa Bu Ratna menaruh simpati kepada Gladys, siswi berambut pendek sebahu yang sederhana itu. Bahkan saat pelajarannya dimulai, bu Ratna berusaha mendekati dan mencari simpati kepada Gladys dengan memberikan soal-soal matematika untuk dikerjakan ke depan kelas.
Sebulan sudah Gladys bersekolah di sekolah barunya, kedekatan Gladys dan Bu Ratna menjadi perhatian teman-teman sekolahnya termasuk Rani. Karena Bu Ratna memang bukanlah sosok guru yang terkenal ramah, dan sangat jarang menampakkan dirinya di sekolah. Paling-paling jika ada jadwal mengajar saja. Tetapi, semenjak kedatangan Gladys, Bu Ratna selalu ada di sekolah setiap hari, walaupun tidak ada jadwal mengajar. Rani menaruh rasa curiga terhadap tingkah Bu Ratna belakangan ini, selain itu rasa cemburu sosial pun muncul. Gladys adalah teman baik Rani, dan semenjak kedekatannya dengan Bu Ratna, Rani merasa kurang diperhatikan oleh Gladys. Kemanapun Bu Ratna pergi, Gladys selalu menemani. Di kantin, di kamar mandi, di taman, dan yang paling sering adalah di perpustakaan.
“kamu dengan Bu Ratna seperti anak dan ibu, bahkan di sini jarang ada ibu guru yang seakarab itu kepada anaknya jika memiliki anak yang bersekolah di sini.” Tanya Rani yang duduk sebangku dengan Gladys.
“Ya begitulah.. hehe” jawab Gladys santai.
“Kamu ada hubungan saudara ya?”
“Mungkin.” Dan Gladys pergi ke perpustakaan sendiri. Rani menyusul ke perpustakaan, namun tanpa sepengetahuan Gladys. Gladys duduk di bagian dalam, tempat dimana murid-murid yang kerap berpacaran berkumpul. Gelagat-gelagatnya mencuri perhatian Rani. Gladys duduk bersebalahan dengan Bu Ratna, mereka hanya berbekal buku, namun tidak dibaca. Hanya tersenyum-tersenyum kecil sambil berbincang, dan sesekali Bu Ratna merapikan rambut Gladys, boleh gabung?” tanya Niko, salah seorang murid yang memang hobi membaca buku di perpustakaan.
“Ibu keluar sebentar ya.”
“Kamu adiknya Bu Ratna ya?”
“Bukan kok. Aku ke kelas dulu ya Niko. Daa..”
Gladys pergi dengan wajah agak kesal dan mengembalikan buku ke rak buku dimana tempat Gladys mengambil buku tadi.
**
“Gladys, besok ibu tunggu kamu di perpustakaan. Kebetulan Bu Sri sedang besok tidak mengajar biologi.”
“iya ibu.” Isi pesan singkat yang dimulai oleh Bu Ratna untuk Gladys.
**
“Rani, aku ke perpustakaan dulu ya.”
“nyari Bu Ratna ya?”
“hm..” Gladys tampak memasang wajah penasaran dengan pertanyaan Rani. Gladys yang belakangan ini sering menjauh dari Rani dan bersikap dingin membuat Rani semakin curiga dengan Gladys.
Di perpustakaan, tampak mereka berbincang-bincang tidak seperti guru dan murid. Keakraban mereka melebihi batas itu. Seperti ibu dan anak, tetapi tidak mungkin, mereka sama-sama masih muda. “apa mungkin mereka bersaudara?” pikir Rani yang selalu memantau sehabatnya karena belakangan ini Rani merasa kedekatan mereka renggang karena guru matematika itu, banyak perubahan yang terjadi di sini. Di sekolah ini semenjak Gladys datang. Utamanya dengan Bu Ratna dan Gladys yang sepertinya menyimpan rahasia tersendiri.
Satu semester berlalu, dan sekarang mereka sudah berpindah ke daerah utara, atau bisa dibilang kelas 3 SMA. Dan saat ini Bu Ratna sudah tidak mengajar kelas Gladys lagi. Perubahan semakin terasa, mulai dari Gladys yang sering pulang dan berangkat ke sekolah dengan Bu Ratna, dan masih seperti hari-hari sebelumnya, berdua di perpustakaan, bahkan belakangan ini Gladys sering terlambat pulang karena urusannya dengan Bu Ratna di sekolah. Bukan hanya menyita perhatian Rani, tapi juga perhatian anak-anak lain. Kecemburuan, dan kecurigaan karena ini semua bagaikan rahasia umum.
“Kedekatan ini bukan kedekatan biasa” pikir Rani yang selalu memperhatikan gelagat sahabatnya. Hingga suatu hari Benny, pemain basket dari SMA nya menaruh perhatian kepada Gladys. Tetapi keanehan terjadi lagi. Benny selalu saja dimarah oleh Bu Ratna seakan-akan seorang ibu yang tidak rela anak gadisnya di dekati lelaki. Padahal Benny adalah lelaki yang tampan dan polos.
**
Sekolah sepi karena semua murid sudah kembali ke rumahnya masing-masing, tetapi Gladys tidak. Dia tetap bersama Bu Ratna di perpustakaan tersebut. Rani yang selalu penasaran dengan tingkah sahabatnya tidak henti-hentinya memantau gerak-gerik Gladys dr luar perpustakaan, walaupun agak susah untuk melihat ke dalam. Mereka berdua keluar dan berjalan menuju kelas XII bahasa yang terletak di lantai 3 dan kelas paling pojok. Bu Ratna merangkul pundak Gladys seperti layaknya 2 pasang sahabat yang berumur sebaya.
“Gladys, kamu duduk disini, aku keluar sebentar melihat keadaan.” Kata Bu Ratna sambil tersenyum. Manis. Saat itu Rani belum naik ke atas, di amasih bersembunyi di kelas bawah. “jder!” suara pintu kelas yg di tutup bu Ratna.
Rani segera naik ke atas dengan perlahan, dan berdiam di sebelah selatan kelas yang pintunya berasa di sebelah utara. Rani mengintip gerak-gerik mereka lewat jendela belakang kelas. Dan...
“Hay! Apa yang kulihat? Apa? Ini semua seperti mimpi! Ini semua diluar pikiranku! Ya Tuhan, apa yang harus kuperbuat sekarang? Dia sahabatku Tuhan. Ini mimpi! Aku yakin ini pasti mimpi. Apa yang aku lihat bukan kenyataan. Tuhan, sadarkan aku. Bangunkan aku. Mereka sama-sama wanita, tapi? Argh!!!” pikir Rani. Keringat Rani bercucuran. Udara saat itu terasa dingin. Kaku. Tidak bisa bergerak melihat apa yang sedang terjadi antara Bu Ratna dan Gladys. Mereka Berciuman! Sangat mesra. Bahkan Rani belum pernah melihat Gladys seperti ini dengan lelaki.
Rani tidak kuat melihat semua ini. Ia berlari menuruni tangga dan suara sepatunya terdengar keras hingga membuyarkan kedua pasang lesbian itu. Dengan cepat Bu Ratna melepaskan ciumannya dan berlari ke luar balkon untuk melihat siapa orang yang berlari dan telah menyaksikan perbuatan mereka. Tetapi terlambat, Rani sudah menghilang dan mereka tidak mengetahui siapa yang telah melihat mereka.
“Ratna, siapa yang melihat?”
“Maaf Gladys, aku tidak tau siapa yang telah melihat kejadian kita tadi” Gladys menangis dan duduk sambil menutup wajahnya menggunakan tangannya.
“Lalu apa yang harus aku perbuat?” tanya Gladys gelisah.
“Bu Ratna berusaha memeluk Gladys, tetapi Gladys melepas dan berlari turun ke bawah”
**
Hingga saat ini Rani masih menyimpan rahasia itu sendiri. Walaupun ia dilema dengan apa yang harus ia lakukan, tetapi Gladys adalah sahabat Rani. Semenjak kejadian itu, Gladys tidak pernah terlihat dekat lagi dengan Bu Ratna. Begitupun Bu Ratna yang kembali jarang terlihat di sekolah. Gladys memang tampak tidak sesumbringah biasanya, tetapi Rani senang karena inilah Gladys yang dulu pernah dikenal Rani.
“Gladys, aku sahabatmu, jika ada masalah, aku siap membantu”
“Terimakasih Rani, sahabatku” dan lagi, Gladys kembali memancarkan senyuman kepada Rani. Sikap dinginnya hilang, Gladys kembali suka berbagi cerita dengan Rani seperti biasanya. Tetapi tetap Gladys belum menceritakan tentang hubungannya dengan Bu Ratna dulu.

Sela-Sela Jari Tanganku Hilang


Vee berjalan mengikuti pesisir pantai sanur sembari mengenang Rai. Ya, mengenang. Pantai ini adalah pantai berpasir putih yang sering dikunjungi Rai dan Vee dulu.

Saat itu Vee sedang berusia 19 tahun. Ia berkuliah di salah satu fakultas ekonomi di Bali semester tiga. Vee memiliki mata coklat dengan hidung yang mancung. Rambut panjang hitam lebat. Bibir merah. Layaknya puteri salju di dongeng-dongeng. Vee gadis yang setia. 4 tahun sudah ia menjalani hubungan dengan Rai. Lelaki yang biasa saja. Berpenampilan apa adanya, namun bersahaja dan selalu menjadi perhatian para guru maupun dosen.

Kejadian bermula saat Vee mencoba mengajak Rai ke pantai lain, yaitu pantai berpasir hitam di kawasan Gianyar. Pantai Cucukan. Ombak dan suasana di pantai ini sungguh berbeda dengan suasana di Pantai sanur yang jauh lebih indah walaupun berada di tengah kota. Vee bermain bola dengan Rai dan Rada. Rada adalah adik Rai yang juga hobi bermain sepak bola. Saat Vee dan Rai bermain-main, Rada dengan semangatnya berlari ke arah Vee untuk mengambil bola, tetapi Vee menendang bola dan bola bergelinding ke arah Pantai berombak besar itu.

“Ambil Rai!” teriak Vee memerintah penuh paksaan, tetapi Rai tidak ingin mengambil bola milik Rada karena ombak yang besar.

“Tega kamu, sayang. Ombaknya terlalu besar untuk aku taklukkan”

“kalau kamu berhasil mengambil bola itu, berarti kamu sudah membuktikan bahwa kamu memang benar mencintaiku.” Ancam Vee.

“Sayang... itu bahayaa..”

“Rada, sepertinya Bli Rai tidak menyayangiku.” Kata Vee sambil tersenyum sinis.

Dengan senyuman dan kecupan kecil di kening Vee, Rai berlari ke arah air dan bersikeras melawan ombak untuk mengambil bola merah milik Rada. Lambat laun, Rai hilang, tidak terlihat dan Vee mulai kebingungan.

“Rada, dimana Bli Rai?”

“entahlah..” sautnya cuek sambil memakan sate di pinggir pantai.

“Rada, itu bolamu bukan?”

“ya, mungkin Bli Rai masih membeli minuman.”

Sejam telah berlalu, Rai belum juga kembali. Semua disadarkan dengan teriakkan seorang nelayan yang menemukan sesosok Pria terombang-ambing di tengah laut.

“Tolong! Ada mayat! Adaa mayaatt!”

Sontak Vee berlari dan melihat ke arah perahu yang dibawa nelayan itu.

Diam. Pikiran Vee seketika kosong. Badannya berat, kaku, tidak bisa bergerak. Melongo melihat keadaan mayat yang sudah berwajah pucat tersebut. Air mata pun menemani. Genggaman tangan Vee melepas Rada. Rada yang sudah menangis tersedu-sedu mulai memeluk tubuh Vee. Namun Vee tidak membalas. Vee hanya terdiam sambil meneteskan air mata. Hingga akhirnya jatuh lunglai ke pasir. Ya, itulah Rai. Yang sudah hanyut termakan ombak. Sesal yang tersisa di benak Vee yang sudah membuat Rai membuktikan cintanya hingga termakan maut.

Empat bulan sudah berlalu. Vee sering kali bercerita kepada Ibunya bahwa setiap Vee menutup mata, selalu ada yang menghilangkan sela-sela jari tangannya. Bahkan tidak jarang Vee tertawa sendiri saat menutup mata. Sela-sela jari tangan yang hilang. Vee selalu bilang, sel-sela jari tangannya hilang. Begitu terus.

Saat aku menutup mata, ada seseorang yang datang menghampiriku untuk menggenggam salah satu tanganku, hingga aku merasa, sela-sela jari tanganku hilang. Genggaman yang begitu tulus, genggaman yang begitu yakin bahwa sang penggenggam adalah orang yang sangat mencintai aku dengan tulus.itu adalah genggaman tangan Rai. Ternyata Rai belum mati. Rai ada dimana pun aku membutuhkannya. Rai selalu menggenggam tanganku disaat aku merindukannya. Rai yang selalu membuatku tersenyum dan tertawa hingga saat ini. Rai belum mati! Rai sering datang ke sini. Dan aku melihatnya.

Ucap Vee di depan dokter psikolog. Ibu Vee membawa Vee ke psikolog karena tidak kuat melihat anak cantiknya selalu menangis dan tertawa-tertawa sendiri sambil menutup mata. Vee yang masih tidak bisa menerima kepergian Rai setahun lalu selalu saja berangan-angan bertemu dan berbicara dengan Rai. Hingga akhirnya seorang lelaki jangkung bernama Dede menaruh perhatian kepada Vee. Dedelah psikolog yang setia merawat Vee. Dede yang tidak tega melihat pasiennyaa yang cantik ini sakit.

“Vee, coba kamu tutup matamu dan undang Rai datang kesini. Aku ingin melihat wajah tampan Rai” kata Dede, psikolog muda.

“Baiklah, aku harap kamu tidak terpesona dengan ketampanannya. Karena dia sudah mencintaiku terlebih dahulu.”

“Apa yang kamu lakukan jika yang menggenggam tanganmu itu bukan Rai?”

“tidak mungkin! Aku sudah melihatnya, Railah yang mengganggam tanganku. Jika tidak, tentu aku akan mencintai orang yang sudah menggenggam tanganku. Siapapun itu.” Vee mulai menutup matanya. Dan apa yang terjadi?

Vee mulai tersenyum. Lalu berkata “aku mencintaimu”. Tangan kanan Vee terangkat dan menggenggam tangan kiri nya.

“Dede, lihat, dia datang dan menggenggam tanganku. Sekarang apa kau percaya?”kata Vee sambil tetap menutup matanya dan tertawa kencang.

Sungguh malang sekali kamu Vee, sahabatku. Ternyata imajinasimu tentang kehilangan sela-sela jari tangan adalah tangan kananmu yang menggenggam erat tangan kirimu saat kamu menutup mata. Vee, seandainya matamu terbuka untukku, kamu pasti tau bagai mana sesungguhnya dalam cintaku untukmu.

Dede, menarik tangan Vee dan segera menggenggam tangan kiri Vee.

“apa yang kamu rasakan sekarang Vee?”

“Hay! Genggaman ini terasa hangat Dede.. bukan Rai. Siapa yang menggenggam tangan ku sekarang? Mengapa aku tidak dapat melihatnya? Genggaman tangan yang kuat. Aku mencinati orang yang menggenggam tanganku ini. Ini seperti mimpiku saat itu!”

“itu karena kau menutup matamu, sekarang, bukalah matamu, maka kamu akan melihat dunia nyata dan benar-benar melihat sela-sela jari tangamu yang hilang. Bukan hanya merasakan genggaman tangan, tapi jugak melihat” perlahan Vee membuka matanya dan melihat siapa yang menggenggam tangan Vee.

“Dede?? Kamu yang menggenggamnya?”

“ya, aku.. Vee, cepat lihat mataku. Aku disini bisa membantumu melupakan kejadian lama itu. Aku disini bisa membuatku belajar dan mengerti tentang cinta yang baru. Aku tulus mencintaimu Vee. Lupakan kenanganmu. Percayalah, Rai sudah tenang di sana. Dan Rai akan bahagia jika ia melihat sebuah kenyataan bahwa ada seorang yang bisa menjagamu disini. Dan orang itu adalah aku.”

Suasana tenang. Pantai sanur saat itu sangat indah. Salah satu gazebo di batu karang menjadi saksi. Dan Vee memeluk manja tubuh Dede yang juga membalas pelukan hangat Vee.

“Dede, bantu aku melupakannya, aku bisa merasakan kehangatan yang dalam dari cintamu.”

“Dengan senang hati, Vee. Beri aku kesempatan untuk menjagamu.”

“Jangan tinggalakan aku.”

Dan Vee telah mengetahui bahwa sela-sela jari tangannya yang hilang adalah tangan kirinya yang digenggam oleh tangan Vee yang menutup mata. Lalu saat membuka mata, ada kenyataan bahwa Dedelah yang menggenggam tangan Vee.