Yang Punya

Foto saya
Denpasar, Bali, Indonesia
terbang naik elang, diserempet naga. selamat datang, selamat membaca :)

Kamis, 24 Maret 2011

Pencuri Yang Tidak Berharap Kaya

Aku adalah I Kadek Suksma Widhi Andara. Kata ibuku, nama itu diberikan padaku dengan artian I adalah anak laki-laki di Bali, Kadek adalah anak kedua di Bali, Suksma artinya terimakasih, Widhi artinya Tuhan, dan Andara adalah nama ayahku. Dalam artian luas berarti, ibuku berterimakasih kepada Tuhan karena telah menganugerahi seoang anak laki-laki. Ya, itulah aku.

Aku ingin menceritakan sedikit tentang seorang penjaga sekolahku yang telah mengajariku banyak hal. Kesabaran, ketenangan, ketabahan, tidak pamrih, hingga aku dapatkan keindahan dan merasakan pengorbanan. Saat ini usiaku 23 tahun. Dan Pak Made pun telah pensiun, tapi aku tetap sering mengunjungi Pak Made dan keluarganya, karena aku juga sudah menganggap mereka keluarga.

Pak Made, penjaga sekolahku. Berbadan pendek, sederhana, ramah, dan baik hati. 22 tahun sudah dia mengabdi sebagai penjaga sekolah sekaligus penjaga kebersihan sekolahku. Dia adalah idolaku, yang dengan senang hati menjaga sekolahku tanpa pamrih. Walaupun memang mencari gaji untuk menghidupi keluarga, tapi kerap kali ia mengerjakan pekerjaan yang bukan tugasnya. Kata Pak Made, sekolah ini sudah seperti rumahnya sendiri. Nyaman jika bersih dan tidak nyaman jika kotor. Karena beliau menyukai sekolah yang nyaman, maka dengan senang hati ia membersihkan sekolahku.

Istri Pak Made bernama Ni Luh Sukaesih, namun sering ku panggil Men Asih. Men Asih bekerja sebagai buruh tani di pertanian milik saudagar dekat rumahnya. Penghasilannya memang tidak tetap, tetapi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia memiliki 2 orang anak yang membantunya. Sebenarnya anak Pak Made dan Men Asih ada 3. Tetapi, anak keduanya sudah meninggal dunia karena sakit. Anak pertamanya seumuran denganku, tetapi tidak melanjutkan sekolah sejak duduk di bangku SMP, dan anak terakhirnya sekarang bersekolah di SMA negeri karena beasiswa gaskin (keluarga miskin). Anak pertama mereka bekerja sebagai tukang cuci motor di salah satu bengkel dengan bayaran yang lumayan banyak.

Hal yang paling kuingat adalah saat aku duduk di bangku SMA, saat aku sudah akan lulus dari sekolahku. Pak Made jarang terlihat di sekolah, dan jika tidak begitu, ia datang sekitar pukul 9 pagi. Biasanya pukul 5 Pak Made sudah bersih-bersih di halaman sekolahku dan kerap memberi sapaan senyuman kepada siswa yang baru datang. Aku yang sering bercengkrama dengan Pak Made tentu merasa curiga karena tidak biasanya Pak Made mengurung diri di depanku. Bahkan sampai masalah keluarganya saja Pak Made selalu cerita kepadaku. Tetapi semenjak Pak Made jarang pergi ke sekolah, aku mulai jarang berbincang dengannya. Pikiranku saat itu sangat pendek. Hampir saja aku mengajak teman-temanku untuk berdemo karena kukira Pak Made dipecat. Untung saja aku sempat mampir ke rumahnya dan anaknya yang pertama bilang bahwa Pak Made tidak dipecat. Tetapi aku tidak mendapatkan informasi apa pun tentang penyebab Pak Made jarang datang ke sekolah. Pak Made terlihat sehat dan tetap memancarkan senyum hangatnya.

Suatu hari, saat aku terlambat pulang karena sedang membersihkan sekre KSPAN bersama adik-adik kelasku, aku melihat Pak Made kebingungan dan seperti berpikir keras. Ingin ku menyapa Pak Made seperti biasanya, namun entah mengapa sku canggung dan curiga dengan gerak-gerik Pak Made. Beliau berdiri di depan Ruang Guru dan masuk. Aku kira dia akan membersihkan ruangan itu, tapi untuk apa Pak Made melihat-lihat keadaan sekitar seperti kebingungan dan membawa linggis? Apa Pak Made kehilangan sesuatu? Dan aku mengikuti Pak Made. Kuintip gerak-gerik Pak Made yang membuka laci meja guru-guru dan Pak Made mengambil Bungkusan coklat. Seperti uang. Pak Made mencuri? Untuk apa?

Keesokan harinya OSIS dan para guru menyebar ke kelas-kelas. Entah untuk apa. Dan Pak Budayasa menjelaskan ternyata sekolah telah kehilangan uang sebesar dua puluh dua juta rupiah. Uang untuk study tour guru-guru setelah kelulusan. Dibenakku ini apa ini ulah Pak Made? Tapi untuk apa Pak Made melakukan ini semua? Ia yang mengajariku banyak hal tentang kebaikan, tapi mengapa ia yang mencuri uang sekolah? Dan ternyata memang benar, uang itu adalah yang dicuri Pak Made. Uang yang berada di Laci meja Bu Siti, panitia tour para guru. Aku sangat bingung. Apa yang harus aku lakukan? Aku mengetahui semuanya, tetapi tidak ada bukti yang pasti. Tetapi, aku yakin seorang Pak Made tidak akan melakukan kejahatan tanpa alasan yang jelas.

Aku datang ke rumahnya, dan bertanya banyak kepada anak pertama Pak Made, tapi entah mengapa Putu selalu menjawab pertanyaanku dengan dingin. Hingga akhirnya aku ceritakan bahwa Pak Made telah mengambil uang sekolah. Putu tidak percaya, dan gadis cantik itu mengusirku. Saat aku berada di luar rumah Pak Made, aku bertanya kepada tetangga, ternyata anak kedua Pak Made sedang mengalami Kecelakaan saat berjalan di tengah jalan dalam keadaan mabuk dan memerlukan bantuan donor darah. Bukan hanya itu, anak Pak Made telah merusak toko Grosir milik Ko Handi yang berada di seberang pasar dan kerugiannya cukup besar. Semua itu harus ditanggung Pak Made.

Dan kini aku mengetahui apa penyebab Pak Made mencuri. Aku mengunjunginya di rumah sakit, dan ia menceritakan semuanya kepadaku. Ia memohon agar tidak melaporkan semua ini, tetapi aku tidak bisa. Aku menghimbai Pak Made untuk menceritakan semua ini kepada kepala sekolah sebelum ditindak lanjuti ke polisi. Dan Pak Made bersedia, karena dulu Pak Made pernah menasehatiku bahwa kebaikan akan selalu benar sekalipun berkedok kejahatan.

Setelah Pak Made dan aku datang ke ruang kepala sekolah untuk menceritakan semua kejadian, Pak Made terlihat lega. Ia berjanji akan mengembalikan uang itu, tetapi pihak sekolah memberikan kemudahan karena pengabdian Pak Made. Pak Made bercerita, ia mencuri, tetapi sama sekali bukan untuk meraih sebuah kekayaan. Ini semata-mata untuk anaknya. Pak made tidak pernah berharap kaya akan harta. Dia hanya berharap kaya akan kesejahteraan di keluarga. Dan entah dari mana, para murid yang tidak mengetahui apa maksud dan tujuan Pak Made mencuri uang itu bermain hakin sendiri, saat Pak Made berada di Pos Satpam, ia dicibir dan bahkan ada yang melemparinya Batu. Murid-murid bermain hakin sendiri. Sepulang dari sekolah, aku menerima kabar bahwa anak Pak Made tidak bisa diselamatkan karena gagar otak. Tetapi, Pak Made tidak pernah memancarkan wajah sedih dan galaunya. Ia tetap tesenyum menghadapi semua masalah ini. Masalah yang datang bertubi-tubi.

Disinilah aku dapat melihat kebijaksaan dari Pak Made, orang yang sederhana, tetapi sangat mengahargai arti kehidupan. Rela mendapatkan hukuman hanya demi keluarganya. Ya, keluarga tercintanya. Pernah aku berpikir, mengapa Pak Made tidak menjadi guru BK saja? Ia menjawab, itu cita-cita saya Widhi, tetapi apa boleh buat, orang tua saya tidak mampu menyekolahkan saya hingga ke perguruan tinggi. Dan saya akan berusaha membuat anak saya berhasil menjadi apa yang ia inginkan. Saya ingin anak saya bisa menjadi orang yang sukses tanpa kata kemiskinan yang menjadi kendala. Karena miskin materi bukan awal dari kegagalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bagaimana?