Yang Punya

Foto saya
Denpasar, Bali, Indonesia
terbang naik elang, diserempet naga. selamat datang, selamat membaca :)

Rabu, 06 April 2011

Mati

Mati bukanlah hal yang aku takuti, tetapi bukan berarti aku tak ingin hidup. Aku mati tidak akan pernah merasakan takut lagi, sakit lagi, sedih lagi, tetapi bukan berarti aku hidup selalu dirundung perasaan takut, sakit, dan sedih. Aku hidup penuh suka dan duka, bukan berarti aku takut mati. Karena kematian pasti akan datang.

Mati di kehidupan ini adalah ketika kamu pergi dan kembali. Pergi dari semua orang yang mencintai kamu, pergi dari orang yang membenci kamu, dan pergi dari kenyataan yang mengenali kamu. Kembali ke sisinya, kembali ke tempat dimana kamu berada ketika kamu belum lahir dulu. Kembali ke alam sana.

Mati. Tutup matamu dan bayangkan kematian mengejar-ngejarmu, tentu saja rasa takut itu akan muncul, apalagi ketika kamu merasakan kebahagiaan semu di kenyataan ini. Mati akan terasa berguna ketika kamu merasa tidak berguna di dunia ini. Mati. Mati. Mati.

Mati di hidupku terasa berat ketika orang yang kita sayangilah yang mati. Mati bukan selalu negativ. Ketika kita sakit dan masih tetap hidup, sedangkan sakit itu tidak akan pernah sembuh, sungguh lebih baik aku mati saja.

Saat aku masih duduk di bangku kelas 5 SD, aku kerap bercanda gurau dengan opa, yang dengan ketulusannya merawatku, menjagaku, dan menimangku sejak kecil, bukan karena aku tidak memiliki orang tua, tetapi aku yang merasa nyaman ketika di dekat opa.

Suatu hari, oma terkena penyakit stroke, dan dari penyakit itu, oma harus di rawat di salah satu rumah sakit di daerah Denpasar. Karena penyakitnya juga ia lupa dengan aku, bahkan tidak ingat siapa anak-anaknya, kata dokter ini hanya sementara dan masih bisa sembuh. Tetapi sebulan telah di lewati di rumah sakit dan kondisi oma semakin melemah, opa setia menemani omaku, dan aku pun ikut menjaganya di rumah sakit.

Penjenguk datang silih berganti, mulai dari saudara, kerabat, hingga teman-teman oma. Sangat banyak yang menjenguk, ini semua karena kesembuhan oma tidak kunjung datang. Dan kami pun pasrah dengan apapun yang terjadi nanti. Jujur, aku sempat berpikir oma tidak akan bisa diselamatkan lagi karena melihat kondisi oma yang benar-benar memprihatinkan. Oma yang dulu berisi sekarang sangat kurus.

Hingga akhirnya 2 bulan dilewati di rumah sakit. Oma sudah bisa bergerak, sudah bisa mengingat kembali, dan sudah bisa pulang dari rumah sakit. Tetapi tetap harus menjalani terapi agar bisa bergerak seperti sedia kala. Aku bersyukur.

Sungguh tidak aku sangka, aku yang senang karena oma sudah kembali ke rumah, tiba-tiba aku mendengar kabar opaku jatuh sakit dan tidak bisa menggerakkan anggota tubuhnya. Pertama-tama mulai dari jari-jari tangannya, hingga kaki, dan seluruh anggota badannya. Kata ayahku, opa akan merasa sakit jika dia berusaha menggerakkan anggota tubuhnya.

Sudah seminggu opa terbaring lemah di kamar rumahnya, dan ia segera di bawa ke rumah sakit yang sama dengan oma saat oma sakit. Opa yang berbadan berat harus digendong menuju mobil. Tetpai, aku sama sekali tidak diperbolehkan menjenguk opa ke rumah sakit. Selama opa sakit, aku hanya diam di rumahku di Gianyar.

Harapanku opa cepat sembuh, aku dengar-dengar cerita ayah dan ibu, katanya opa sempat berteriak karena kesakitan saat di rumah sakit. Ibuku sedang mengandung adik terkecilku yang sekarang berumur 4 tahun. Jadi, ayah menyarankan agar ibu beristirahat di rumah.

Saat sore aku keluar dari kamarku, Mbak Diah, pembantu rumah tangga di rumahku berkata “Tara yang sabar yaa.” Aku yan belum berpikir akan terjadi apa-apa hanya mengiyakan omongan Mbak Diah. Mbak Diah juga memberitahukan bahwa keadaan opa sekarang sedang kritis.

Malam sekitar pukul 7.00 ayah kembali ke rumah dan terlihat seperti menyembunyikan sesuatu dariku, ayah terlihat gelisah. Dan aku hanya diam di kamar tanpa memikirkan akan terjadi sesuatu yang buruk. Aku melihat tingkah laku ayah. Dan telpon genggam ayah pun berdering. Tidak sengaja aku mendengar pembicaraan ayah dengan salah satu pelanggan di Garmen milik ayahku, tetapi ayah menjawab “Maaf pak, mungkin baju pesanan bapak selesainya agak diundur karena mertua saya baru saja meninggal karena sakit.” Ayah sedikit berbisik, tetapi aku tetap bisa mendengar pembicaraan ayah dari balik pintu. Sontak aku berteriak keras dan menangis. Aku bertanya kepada ayah, tetapi ayah hanya memelukku erat-erat. Kakiku lemas, dan aku merasa tidak bertanaga. Aku melepas pelukan ayah dan terjatuh sambil tetap menangis. Ayah dan mbak diah membopongku ke tempat tidur. Dan Mbak Diah mengambilkan aku segelas air untuk kuminum.

Ayah mulai menenangkanku dan menjelaskan semuanya. Sungguh tidak aku sangka. Opa yang awalnya sehat dan tegar ketika oma sakit selama dua bulan, sekarang pergi dan meninggalkan kita selamanya. Aku sangat tidak berpikir ke sana, bahwa opa akan meninggal di usianya yang ke 65 tahun.

Tangisanku terhenti, dan ayah mengajakku ke rumah opa. Di sana telah ramai di datangi saudara dan kerabat lainnya. Bahkan sudah berjejer karangan bunga dengan nama opa. Malam itu terasa sangat kelabu, sangat sedih dan haru. Aku masuk ke dalam ruangan tempat opa di rebahkan. Aku memeluk mama yang sudah berada di sana dan menangis lagi, sangat keras. Mamapun mengantarkan ku ke arah tempat tidur. Opa dikelilingi lilin-lilin kecil. Opa terlihat gagah dengan jas hitam, kemeja putih, dan dasi merah marunnya. Lengkap, seperti orang yang akan menikah. Aku kembali menangis dan duduk di sebelahnya, mamapun ikut menangis. Tidak lama aku duduk di sana, Talia, adikku yang saat itu berusia 4 setengah tahun datang dengan wajah kebingungan dan bertanya “Opa kenapa kak? Kok tidur di sini?” dan Mama memeluk Lia lalu mengatakan bahwa opa sudah tidak ada. Aku sedih melihat Talia menangis histeris dan memeluk Opa.

Di sisi lain, Oma yang masih belum stabil hanya duduk dan menangis. Pandangannya kosong, dan diam. Aku duduk disebelah oma dan memeluknya. Sesekali menghapus air mata oma. Lalu seorang lelaki yang sepertinya teman oma datang dan mengatakan “Ci In, yang kuat ya, semua juga pasti akan kembali ke sisiNya.” Lalu dia juga memeluk oma.

Opaku, Martin Moningka adalah kakek yang tegas, selalu mendidik anak cucunya menjadi disiplin, ramah, dan disegani banyak orang. Dia adalah mantan veteran yang dulunya ikut berjuang melawan jepang ketika ingin kembali menjajah indonesia. Badannya tinggi besar, tegak, dan selalu memancarkan wajah keberanian. Aku sayang opaku. Ketika kecil dialah yang selalu menemaniku, setia mengajakku berkeliling kota dengan motor Supra yang saat itu masih baru. Bahkan hingga kini motor itu masih ada.

Saat hari pemakaman opa, aku sangat tidak rela opa dimasukkan ke dalam peti, aku foto wajah opa untuk kenang-kenangan ku nanti sesaat sebelum peti opa di tutup. Entah mengapa rasa semakin tidak rela untuk kehilangan opa datang ketika peti akan segera di tutup. Semua menangis mengelilingi peti opa.

Perjalanan menuju Kuburan Kristen di Nusa Dua saat itu sangat ramai. Iring-iringannya begitu panjang. Opa sudah seperti pahlawan sejati. Mobil jenazah opa dipandu oleh polisi, dan diiringi oleh Tentara-tentara di Densipur Gianyar. Dan mobilku berada di belakang mobil para Tentara. Sesampainya di kuburan, dua orang wanita tua datang dan berkata “Martin....” Sambil menangis dan mengucapkan banyak kata dengan bahasa Manado yang tidak aku ketahui artinya. Mereka adalah kakak Opa dari Manado yang baru saja sampai di Bali. Mereka memohon agar membukakan peti agar bisa melihat wajah adiknya untuk terakhir kalinya. Peti pun di buka, paku-paku di kiri kanan peti di buka dan opa dipeluk mereka.

Doa-doa dibacakan, selagi peti opa dikubur. Suasana sangat panas, dan penuh derai tangis. Sungguh gerah. Tetapi aku tetap berdiri di sebelah kanan liang kubur opa sambil menangis. Sebenarnya di pikiranku saat itu bukan opa yang akan pergi, tetapi oma karena kondisi oma yang sangat parah. Memang tidak ada yang bisa menebak jalan Tuhan. Namun, selang waktu berganti, aku sudah bisa menerima kepergian opa. Semoga opa selalu bahagia di sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bagaimana?