Yang Punya

Foto saya
Denpasar, Bali, Indonesia
terbang naik elang, diserempet naga. selamat datang, selamat membaca :)

Selasa, 08 Januari 2013

Green Economy: Sebuah Citra Tanpa Aksi



Green Economy: Sebuah Citra Tanpa Aksi
Oleh: Pande Putu Tara Anggita Indyaswari

Green economy atau ekonomi hijau kini mulai menjadi trend di berbagai Negara. Green economy adalah solusi dari ancaman kehancuran peradaban yang diakibatkan oleh pencemaran dan kerusakan lingkungan. Lantas sudahkah Indonesia juga menerapkan Green Economy?
 Saat ini Indonesia memang masih gencar-gencarnya mengakui diri sebagai Negara yang menerapkan Green Economy. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memaparkan langkah Indonesia menuju ekonomi hijau di Riocentro Convention Center yang menjadi pusat kegiatan Konferensi Rio+20. Hal itu dikatakan sebagai salah satu bentuk ekonomi hijau.
Citraan Green Economy saat ini terpampang kuat-kuat di wajah para pebisnis yang “sukses versi Indonesia”. Green Economy memang sudah diterapkan di banyak Negara-negara maju, sehingga para pebisnis juga ikut menggembar-gemborkan istilah Green Economy sebagai dalih agar produknya diminati dengan konsumen tanpa mengetahui apa saja sebenarnya kriteria-kriteria dari Green Economy.
Green Economy  sebenarnya memiliki empat kriteria. Empat kriteria itu antara lain pro-poor (mengurangi kemiskinan), pro-job (menyediakan lapangan pekerjaan), pro-growth (meningkatkan pertumbuhan ekonomi) dan pro-environment (tidak mengeksploitasi sumberdaya alam atau lingkungan). Maksud tidak mengeksploitasi lingkungan adalah bahan, proses, dan hasilnya juga tidak boleh merusak lingkungan.
Dari keempat kriteria itu, realitanya pebisnis “sukses versi Indonesia” hanya dapat memenuhi satu kriteria saja, yaitu Pro-growth karena semua bisnis pasti berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi yang biasanya dimonopoli sendiri oleh kalangan atas atau private pro-growth. Lalu, mau dibawa kemana tiga kriteria lainnya? Apa mereka mengabaikan ketiga kriteria lainnya?
Berbicara tentang ekonomi, lapangan pekerjaan dan kemiskinan tentu saja akan “menyenggol” sedikit ke UMR (Upah Minimum Kerja) yang terbilang cukup rendah. Sudah banyak juga perusahaan-perusahaan yang “sukses versi Indonesia” mengakui tentang UMR yang telah diberikan kepada karyawannya. UMR Indonesia berkisar sekitar Rp 700.000,00 – Rp 1.500.000,00 perbulannya, sedangkan tentu saja nominal tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan buruh atau tenaga kerja selama sebulan.
Sebagian besar perusahaan-perusahaan besar yang “sukses versi Indonesia” adalah perusahaan yang mengeksploitasi lingkungan, seperti contoh perusahaan batu bara, perusahaan kelapa sawit yang kerap mengalih fungsikan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, perusahaan emas, fast food yang semakin menjamur, limbah-limbah perusahaan tekstil yang tidak didaur ulang dan masih banyak lagi. Tetapi, mengapa presiden Susilo Bambang Yudhoyono berani mengakui tentang sudah berlakunya Green Economy di Indonesia?
Nyatanya sebagian besar perusahaan di Indonesia selalu saja mengeksploitasi lingkungan baik dari bahan, proses, hingga produk yang dihasilkan.  Ini sebuah ironi atau bahkan agak memalukan jika Negara lain mengetahui apa masalah ekonomi dan lingkungan yang dialami Indonesia, tetapi Presiden Yudhoyono dengan lancangnya mengaku di hadapan banyak Negara bahwa Green Economy telah diterapkan. Untuk apa dengan bangganya menggembar-gemborkan Green Economy? Sedangkan tahu tentang Green Economy saja tidak. Mereka memang telah terbiasa berbicara sebelum berpikir. Ujung-ujungnya, Green Economy ya hanya citraan semata.
Tajuk Rencana Terbaik Pentas Jurnalistik Medikom FE Unud 2012

2 komentar:

bagaimana?